Sabtu, 23 Juni 2018

Indonesia Bakal Tampilkan 4 Tarian Daerah di Festival Llangollen Inggris


Tim Indonesia yang diwakili SMA Al-Izhar Pondok Labu Jakarta akan menampilkan empat tarian di ajang festival budaya antarbangsa Llangollen International Musical Eisteddfod di North Wales, Inggris pada 3 - 8 Juli 2018.

Keempat tarian daerah tersebut adalah Tari Belibis, Tari Nagekeo Bangkit, Tari Muda Mudi Papua, dan Tari Kipah.

Dalam acara ‘Gelar Pamit Misi Budaya SMA Al-Izhar di Balairung Soesilo Soedarman, Gedung Sapta Pesona, kantor Kementerian Pariwisata (Kemenpar), Jakarta, Sabtu (23/6/2018), keempat tarian itu disuguhkan para  murid SMA Al-Izhar di bawah bimbingan sanggar tari Gema Citra Nusantara (GCN), ditambah satu Tari Mirah dari Betawi yang dibawakan para alumni tahun lalu.

Acara tersebut dihadiri Kepala Biro Komunikasi Publik, Kementerian Pariwisata (Kemenpar) Guntur Sakti yang mewakili Sekretaris Kemenpar Ukus Kuswara, Direktur Utama Al-Izhar Pondok Labu, Arniyani Arifin dan sejumlah orangtua murid.

Tari Belibis  dengan penata tari NLN Swathi Wijaya Bandem dan komposer musik I Nyoman Windha, disuguhkan sebagai tarian pembuka.

Tarian yang berasal dari Bali ini berkisah tentang raja atau prabu Angling Dharma yang dikutuk istrinya menjadi seeokor burung Belibis.

Dalam pengembaraannya dia bertemu dengan sekawanan Burung Belibis, namun dia tidak diterima kelompok itu lantaran bisa berbicara seperti manusia.

Gerak tari yang dibawakan lima siswi SMA Al-Izhar ini  menunjukkan penampilan yang menarik dan harmonis dengan seperangkat gamelan yang mengiringinya.

Selanjutnya ditampilkan Tari Nagakeo Bangkit dengan penata tari Mira Arismunandar dan Erik Setiawan, penata musik Asep Supriyatna dan Altajaru serta lirik ditulis oleh Andi Gani Nena Wea.

Tarian yang berasal dari Flores, NTT ini menggambarkan anak muda Nagakeo yang siap menghadapi tantangan masa depan.

Tarian yang dibawakan 10 penari perempuan ini mencerminkan diskusi untuk mencapai persatuan dan solidaritas dalam meraih tujuan untuk bangkit. Gerakannya feminin namun cukup dinamis.

Berikutnya Tari Muda-Mudi Papua dengan penata taari Mira Arismunandar dan penata musiknya Asep Supriyatna serta Altajaru.

Tarian yang dibawakan siswa dan siswi SMA Al-Izhar ini menceriatkan pergaulan muda-mudi di Papua dengan gerakan yang khas dan dinamis.

Sementara Tari Kipah yang berasal dari Aceh, penata tarinya Mira Arismunandara dan Jufrizal.

Dalam sejarah, tarian yang dibawakan para penari perempuan ini biasanya digunakan sebagai media komunikasi pada masa penyebaran Islam di Indonesia. Tapi sekarang sudah menjadi tarian tradisional Aceh yang sudah dipentaskan hampir di seluruh dunia.

Tari Kipah ini menggambarkan kebersamaan dan kerjasama yang ada di masyarakat dan memiliki gerakan yang sangat  cepat dan kompak.

Kipah atau kipas tradisional khas Aceh digunakan sebagai properti dalam tarian ini. Kipas ini menghasilkan suara unik yang membuat tarian ini menjadi lebih hidup.

Tim misi budaya SMA Al-Izhar di Llangollen International Musical Eisteddfod tahun ini  berjumlah 31, orang terdiri atas 24 murid, 4 pelatih, 1 art director, 1 guru, dan 1 officer. Tim ini pun mendapat dukungan dari Kemenpar.

Mereka akan tampil dalam 3 kategori kompetisi yang diikuti yaitu traditional dance, choreographed folk dance, dan cultural  showcase dengan membawakan 4 tarian daerah tersebut.

Ajang festival budaya bergengsi ini diikuti lebih dari 5.000 penyanyi, penari dan pemusik dari sekitar 50 negara.

Pada tahun ini festival tersebut diikuti 5.000 lebih  penyanyi, penari, dan pemusik dari sekitar 50 negara untuk melakukan pertunjukan di depan lebih dari 50.000 orang penonton berlangsung selama 6 hari.

Sebagai catatan pada festival tahun lalu, tim Indonesia yang juga diwakili SMA Al-Izhar berhasil mendapat juara 2 dalam kategori dancing in the street.

Naskah: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)

Foto: joko-humas kemenpar

Captions:
1. Tari Muda-Mudi Papua
2. Tari Belibis, Bali
3. Tari  Nagakeo Bangkit, Flores, NTT
5. Tari Kipah, Aceh
6. Para pemain musik.


Kamis, 07 Juni 2018

Tarian Diwo Utan Kabong dan Thongin Semarakkan Launching TCOF Season 3


Sejumah  anak sedang bermain di tepi hutan Kabong, Pulau Penutuk, Bangka Selatan. Merekabegtu ceria,  tak bisa diam, berlari kesana-kemari sambil tertawa dan bercanda. Keasyikan bermain, mereka sampai memasuki hutan Kabong yang kabarnya banyak hatunya.  Dan benar saja mereka bertemu dengan hantu Diwo sehingga mereka kesurupan.

Itulah garis besar isi tarian berjudul Diwo Utan Kabong yang dibawakan tujuh penari terdiri atas lima penari pria dan dua penari perempuan dari Sanggar Seni Sanggar Seni Dharma Habangka asal Toboali, Kabupaten Bangka Selatan (Basel), Pulau Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) dalam acara peluncuran even Toboali City On Fire (TCOF) Season 3 di Balairung Soesilo Soedarman, Gedung Sapta Pesona, Jakarta, Kamis (7/6/2018).
TCOF jilid 3 tahun ini diluncurkan oleh Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya bersama dengan Gubernur Babel H. Erzaldi Rusman dan Bupati Basel Justiar Noer.

Kostum tari yang dikenakan para penari Diwo Utan Kabong terbilang sangat simple.
Kelima penari laki-lakinya memakai baju tak berlengan berwarna coklat dan celana batik dari kain cual selutut, ditambah  ikat kepala  juga dai kain cual.

Sementara dua penari perempuannya mengenakan atasan berwarna coklat dengan lengan berwarna kuning.

Menurut ketua Sanggar Seni Dharma Habangka,  Rendy Agustian Jikrin, Diwo Utan Kabong merupakan tarian modifikasi yang terinspirasi dari cerita rakyat di Toboali, Basel.

Tarian itu memang menggambarkan keceriaan anak-anak yang sedang bermain di Hutan Kabong pada siang hari.  

“Tanpa disadari mereka bertemu dengan sosok diwo hantu  yang menyerupai manusia. Akhirnya mereka kemasukan dan terjebak di alam yang lain. Mereka disembunyikan oleh diwo sehingga lupa diri, lemah, dan menangis ketakutan,” terang Rendy yang pernah menjadi Bujang Bangsel 2017.

Kata Rendy lagi, di awal tarian, gerakan para penarinya antraktif karena mengambar keceriaan anak-anak meskipun yang menarikannya bukan anak-anak.

Richard Anugrah, salah satu penari laki-laki dalam tarian itu yang berperan sebagai Diwo atau hantu menambahkan sampai saat ini Hutan Kabung di Pulau Penutuk dipercayai masyarakat Basel sebagai hutan terlarang lantaran dihuni oleh diwo atau hantu.

Selain menampilan  tarian Diwo Utan Kabong, para penari Sanggar Seni Dharma Habangka juga membawakan tarian kedua berjudul Thongin.

Tarian itu menceritakan tentang  masyarakat Tioghoa di Basel. “Thongin merupakan sebutan masyarakat keturunan Thionghoa yang menetap sejak lama di Basel,” jelas Rendy.

Tarian tersebut dibawakan  10 penari, terdiri atas  5 penari perempuan dan 5 laki-laki dengan kostum tari berwarna merah menyala.

“Kehidupan masyrakat Melayu di Basel juga tak lepas dari pengaruh budaya Tionghoa. Mereka hidup rukun dan damai,” terang Rendy.

Kedua tarian itu produksi Sanggar Seni Dharma Habangka dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Basel.

Sanggar Seni Dharma Habangka sendiri baru pertama kali tampil di Gedung Sapta Pesona yang menjadi kantor Kementerian Pariwisata (Kemenpar).

Prestasi sanggar yang terbentuk pada 21 Novemberb 2018 ini antara lain pernah meraih juara III Nasional Penyaji Terbaik.

Di tingkat Provinsi Babel pada tahun 2016 lalu sebagai Penyaji Unggulan 3 Festival Serumpun Sebalai, dan sebagai Duta Seni dan Budaya Festival Kemerdekaan di Danau Toba Sumatera Utara 2016 lalu.  

Selain itu juara 1 tingkat nasional berturut-turut di even TCOF yang pertama dan kedua, tepatnya  tahun 2016 dan 2017.

“Lomba tari di TCOF boleh dibilang bertaraf nasional karena ada beberapa pesertanya yang berasal  dari luar Provinsi Kepulauan Babel,” pungkas Rendy.

Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)

Captions:
1. Para penari Diwo Utan Kabong. (foto; adji)
2. Penulis bersama para penari  Thongin. (foto: rendy)
3. Suguhan Tari Thongin di acara peluncuran even Toboali City on Fire di Jakarta. (foto: titi)
4. Penulis berfoto bersama para penari Diwo Utan Kabong dan Thongin. (foto: rendy)