Kamis, 25 Desember 2014

Macceratasi Cara Nelayan Kotabaru Buang Tumbal ke Laut


Masyarakat Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan bukan hanya orang Banjar. Tapi banyak orang Bugis, Mandar, Bajau, dan Thionghoa yang sudah lama menetap turun-menurun. Masing-masing suku tersebut memiliki budaya tersendiri berikut upacara adatnya.

Orang Bugisnya misalnya,  punya upacara  adat Macceratasi  yang digelar Pantai Gedambaan yang kini lebih dikenal dengan nama Pantai Sarang Tiung. Pantai ini berjarak 14 Km dari ibukota kabupaten yakni Kota Kotabaru. 

Macceratasi  merupakan upacara penyembelihan kerbau, kambing, dan ayam yang kemudian darahnya dialirkan ke laut dengan maksud memberikan darah bagi kehidupan laut. 

Warga nelayan setempat yakin dengan melaksanakan adat ini akan mendapatkan rezeki melimpah dari laut. 

Sebelum Macceratasi dimulai terlebih dahulu diadakan upacara Tampung Tawar untuk meminta berkah kepada Allah SWT. 

Usai pemotongan hewan-hewan tersebut diadakan pelepasan perahu bagang (alat tangkap teri) ke laut dengan memuat beberapa sesembahan yang dilepas beramai-ramai oleh nelayan bagang, baik dari Suku Bugis, Mandar maupun Banjar. 

Usai pelepasan bagang, ditampilkan atraksi meniti di atas tali yang biasa dilakukan oleh lelaki Suku Bajau. Atraksi ini pun selalu dipertunjukkan bahkan dipertandingkan pada saat upacara adat Salamatan Leut (Pesta Laut) sebagai pelengkap.

Untuk meramaikan upacara adat ini, biasanya disuguhkan hiburan berupa kesenian hadrah, musik tradisional, dan atraksi pecak silat.

Pantai Gedambaan yang berpasir putih ini berfasilitas cottage, mushola, kolam pemancingan, dan warung makan serta gazebo dengan tempat duduk-duduk untuk bersantai.

Selain Macceratasi masih ada Malasung Manu. Ritual ini biasa diselenggarakan di Pulau Cinta, Pantai Aru, Kecamatan Pulau Laut Selatan. Tempat ini diyakini masyarakat setempat secara turun-temurun sebagai tempat terkabul segala ikrar sepasang kekasih. 

Tapi ikrarnya dilakukan dengan duduk di atas kedua batu. Pelakunya bukan cuma sejoli muda-mudi setempat. Namun banyak juga wisatawan yang melakukannya untuk dipertemukan jodohnya. 

Pada puncak ritual ini kerap diramaikan dengan beberapa kegiatan seperti sepakbola yang memperebutkan piala bergilir Wakil Gubernur Kalsel. 

Di Pulau Cinta seluas 500 meter persegi ini para muda-mudi yang melaksanakan ritual melepaskan sepasang ayam jantan dan betina dari atas dua batu besar, yang terbelah dengan ketinggian sekitar 10 meter dari permukaan laut. 

Mereka mengikatkan tali rafia, akar ataupun pita di dahan dan ranting pohon laut, yang tumbuh di atas batu-batu besar. Maksudnya agar mendapatkan jodoh yang abadi.

Tali yang diikatkan tersebut diberi batu ataupun sapu tangan, sebagai tanda keinginannya digantungkan kepada Allah SWT. 

Pulau Cinta didominasi batu-batu besar dan sejumlah pohon laut sehingga disebut juga Batu Jodoh. Untuk menjangkaunya muda-mudi mengunakan perahu kelotok sekitar 30 menit dari Pantai Aru.

Bila bertemu jodoh, mereka kembali mendatangi Pulau Cinta dengan perahu yang dihiasi kain dan kertas warna-warni bersama pasangannya. Mereka melakukan syukuran bersama kerabat dekat. 

Dalam selamatan itu harus dilengkapi sanggar yakni pisang kepok goreng dengan adonan tepung beras dan minuman teh panas. 

Mereka datang untuk melepas dan mengambil kembali tali serta benda yang dulu diikatkan di ranting pohon laut. 

Ritual ini biasanya digelar pada Juli dan Agustus. Sejumlah wisman dari Australia, Korea Selatan, dan China juga kerap menyaksikan ritual ini.

Ritual adat warga Kotabaru asal Suku Mandar, Sulsel ini kini menjadi ajang wisata tahunan Kotabaru.

Disamping itu ada Selamatan Laut yang dilakukan oleh Suku Bajau di Desa Rampa Lama, Kecamatan Pulau Laut Utara. 

Dalam acara ini sekelompok Suku Bajau membunyikan gamelan sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil tangkapan selama ini. 

Naskah & Foto: sang pujangga (ronabudaya@gmail.com)

Captions:
1. Panjat Tali khas Kotabaru, Kalsel ramaikan Macceratasi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar