Kamis, 15 Januari 2015

Menguak Rahasia Keistimewaan Pesta Kebudayaan Bali

Indonesia punya ratusan festival budaya yang digelar diberbagai daerah dari Aceh hingga Papua. Tak heran Indonesia disebut-sebut Negeri Sejuta Festival atau Carnaval. Di Aceh misalnya ada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA), Sumtera Utara (Festival Danau Toba, Festival Budaya Melayu Agung, dan Festival Budaya Sumatera Utara), Lampung (Festival Kakatau), Jakarta (Festival Budaya Betawi dan Jakarnaval).  Bali (Pesta Kesenian Bali),  Papua Barat (Festival Raja Ampat), dan di Papua ada Festival Budaya Asmat, Festival Lembah Baliem, dan Festival Danau Sentani.

Masing-masing festival budaya di negeri ini punya keistimewaan sendiri. Tapi tak bisa disangkal dari sekian festival budaya tersebut, Pesta Kesenian Bali (PKB) boleh dibilang paling baik dalam hal kemasan hingga berkelas dunia.

Pembukaan PKB biasanya berlangsung di depan Monumen Perjuangan Rakyat Bali (bajra sandhi), Renon, Denpasar. Sudah beberapa kali presdien Indonesia, seperti Susilo Bambang Yudhoyono membuka PKB ini, Ini membuktikan adanya perhatian khusus presiden terhadap pesta kesenian ini. Tahun ini, entahlah apakah Presiden Jokowi akan datang dan membuknya.

Pawai budaya yang ditampilkan oleh setiap kontingen hampir semuanya memikat. Tidak asal tampil. Tarian, pakaian, atribut, dan atraksi yang disuguhkan benar-benar dipersiapkan dengan matang dan menarik sehingga membuat penonton berdecak kagum.

Keistimewaan lain, kendati sudah berkelas dunia, PKB justru mengedepankan budaya lokal terutama Bali. Sejumlah kabupaten yang ada di Bali seperti Kabupaten Bangli, Badung, Tabanan, Jemberana, Klungkung, Buleleng, Gianyar, dan Kota Denpasar seolah berebut menyuguhkan penampilan terbaik dalam pawai tersebut.

PKB juga diminati kontingen dari berbagai daerah yang menampilkan demontrasi kesenian memukau, andalan daerah setempat. Kontingen dari luat Bali ini juga tak mau kalah dengan tuan rumah. Banyak kontingen dari daerah memanfaat event ini untuk  memperkenalkan budayanya agar menasional dan memancanegara.

PKB pun diminati sejumlah negara asing, baik dari benua Asia, Eropa maupun Amerika. Sejumlah orang asing mendadak Bali di PKB. Mereka tampil layaknya orang Bali, bukan hanya menjadi penonton melainkan ikut terlibat langsung sebagai peserta.

Ada perempuan Jepang dan Eropa yang ikut tergabung dalam kelompok musik tradisional Bali. Mereka masing-masing memainkan gamelan dan meniup suling bersama pemain gamelan perempuan Bali lainnya. Kedua WNA itu kompak mengenakan kebaya, kain, dan sanggul khas perempuan Bali. Selain itu ada beberapa turis asing, baik laki-laki maupun perempuan yang ikut berpawai dengan mengenakan atribut pakaian khas Bali. Mereka begitu menikmati pesta kesenian ini.

Kemasan menarik lain dari PKB adalah dengan hadirnya pengatur pawai yang mengenakan kostum daag seperti yang lazim dijumpai pada kesenian Janger. Bedanya daag PKB ini tidak mengatur ritme penampilan pragina janger dan kecak, melainkan mengatur kelancaran jalannya pawai pembukaan PKB.

Kalau ada kontingan pawai yang melakukan atraksi di depan panggung kehormatan lebih dari lima menit, maka salah seorang dari daag itu akan membisiki koordinatornya agar kontingen itu beranjak dari panggung kehormatan.

Mereka juga bertugas mengatur jarak barisan antara satu kontingen dengan kontingen lainnya, termasuk mengatur penonton, juru foto dan tulis dari media yang sedang meliput agar lebih tertib.

Cara para daag mengatur jalannya pawai tidak seperti petugas keamanan umumnya yang kerap menjengkelkan dan kasar. Para daag itu, justru lebih sopan, unik, menghibur, dan tidak merusak performa kontingen, karena mereka melakukannya sambil menari dengan pakaian yang berbeda, berikut topeng khas dan lucu.

PKB digelar setahun sekali.  Lokasi pembukaan sekaligus pawai budayanya di depan Monumen Perjuangan Rakyat Bali, Renon, Denpasar. Sedangkan sejumlah pentas kesenian lainnya di gelar di Taman Budaya (Bali Art Center), Denpasar.

Ribuan seniman dari mancanegara dan berbagai daerah dari Indonesia termasuk tuan rumah Bali turut meramaikan PKB.

Ratusan jenis kesenian ditampilkan secara berturut-turut selama sebulan. Kesenian yang ditampilkan berkelas dunia hingga menarik perhatian wisatawan untuk bertandang.

Itulah Keistimewaan PKB yang membedakannya dengan festival budaya lain di negeri ini. Gaya Bali mengemas pesta keseniannya yang bermuatan lokal dengan apik dan profesional hingga menjadi tontonan budaya berkelas dunia, rasanya patut ditiru oleh festival ataupun pesta budaya lainnya agar dapat menarik kunjungan wisatawan. Tapi hanya cara pengemasannya, sedangkan kesenian yang ditampilkan harus tetap sesuai dengan kesenian lokal masing-masing.

Sebenarnya bukan hanya PKB saja, beberapa festival budaya di Pulau Para Dewa itu selalu digelar manarik sehingga banyak wisnus dan wisman terkagum-kagum melihatnya.

Penulis menilai, masih banyak festival budaya di luar Bali, kendati sudah belasan bahkan puluhan kali diselenggarakan namun  tak mampu mendongkrak kunjungan wisatawan secara signifikan. bahkan gaungnya tak menasional apalagi memancanegara. Salah satu penyebabnya, kemasan yang kurang menarik dan profesional, termasuk kurang publikasi baik itu  pra event, sebelum, dan sesudah event itu berlangsung.

Contoh kecilnya, penulis pernah melihat Festeval Teluk Kendari di Sulawesi Tenggara beberpa tahun lalu. Dalam parade budaya, para penampilnya ada yang pakai sandal jepit, nyeker, dan atau sepatu yang ala kadarnya. Atraksi yangdibawakan juga monoton, justru lebih dominan marching band dan tarian moderen dance. Seharusnya kekuatan seni budaya lokal yang ditampilkan secara wah, elegan, unik, dan menarik baik dalam kostum dari alas kaki samapai rambut, dan kejutan lainnya.

Tak heran, karena kurang baiknya pengelolaan sebuah festival, akhirnya satu per satu berumur pendek alias mati. Pengeloaan disini bukan hanya menyangkut kemasan para penampil, pun pendanaan, promosi, dan publikasi.

Bentuk Karakter
Beberapa tahun belakangan ini juga bermunculan festival baru di berbagai kota dan daerah. Di satu sisi makin memarakkan festival yang bertujuan bukan semata memperkenalkan beragam budaya, melainkan pula menjaring wisatawan. Sayangnya, tampilannya satu sama lain hampir mirip.

Kalau diperhatikan, para penampil festival-festival sekarang, banyak juga kaum adam (pria) yang (maaf) kebanci-bancian. Kalau ini dibiarkan bisa jadi festival akan melahirkan generasi pemuda yang kemayu, suka bersolek melebihi perempuan. Ini harus dicegah. Seharusnya festival itu sejatinya turut membentuk karakter  pemuda yang semestinya pemuda, gagah,sebagai  sosok pelindung kaum hawa yang dapat diandalkan, selain berpenampilan menarik maupun unik.

Festival budaya di Indonesia ada yang berusia belasan bahkan puluhan tahun. Tak sedikit yang baru seumur jagung bahkan baru. Semestinya berapapun usianya, harus memiliki kekuatan dan karakter yang kuat, menarik, dan beda dengan festival yang lain.

Dengan begitu pasti wisatawan yang datang dan menyaksikannya akan memuji dan menyebarluaskan kekagumannya lewat mulut ke mulut maupun sosmed.

Bila sudah begitu, kemungkinan mereka akan datang lagi atau wisatawan baru yang mendapat informasi darinya, akan hadir di event tersebut tahun berikutnya. Tapi jika aburadur, justru bisa jadi bumerang.

Naskah & Foto: sangpujangga (ronabudaya@gmail.com)

Captions:
1.     Parade budaya apik gaya Pesta Kesenian Bali.
2.     Parade Budaya Festival   Krakatau ikutsertakan Gajah Way Kambas.
3.     Opera Batak dalam Festival Danau Toba.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar