Trungtungtung..,
tungtung. Trungtungtung.., tungtung… Begitu bunyi gendang yang dipukul para
pemain Gordang Sambilan. Suaranya bertalu-talu membangunkan semangat,
sebagaimana energi yang kerap ditimbulkan alat musik pukul tradisonal lainnya.
Apalagi ditabuh serempak dan cepat oleh beberapa pemain, mampu mengajak orang
menggoyangkan badan, minimal menghentakkan kaki.
Gordang
Sambilan merupakan kesenian Suku Mandailing. Menariknya suara Gordang Sambilan
yang terdengar itu bukan berada di tanah kelahirannya yakni di Kabupaten
Mandailing Natal (Madina) atau di sejumlah kabupaten lain di Sumatera Utara
seperti Padang Lawas, Padang Lawas Utara, Tapanuli Selatan, Labuhanbatu Utara,
Labuhanbatu Selatan, Labuhanbatu, Asahan, dan Kabupaten Batubara atau di
Sumatera Barat terutama di Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Pasaman Barat serta
di Riau khususnya di Kabupaten Rokan Hulu, melainkan di Bogor, Jawa Barat yang
letaknya sangat jauh di luar tempat tinggal orang-orang Mandailing tersebut.
Kalau
tidak percaya, datanglah ke Sanggar Dolok Martimbus di Komplek PDK, Ciparigi,
Bogor Utara, Jawa Barat. Di sana Anda akan melihat bagaimana sejumlah orang
mandailing perantauan tengah memankan Gordang Sambilan. Bahkan penari Tortor-nya
kebanyakan para perempuan muda asli Sunda, suku asli Jawa Barat.
Ini
membuktikan Gordang Sambilan dan Tortor sudah meluas dan berkembang di tanah
rantau serta diminati suku lain.
Fenomena
menggembirakan ini bukan terjadi begitu saja. Ini berkat kerja keras seniman
asli Mandailing bernama Ir. Herman Adil Rangkuti. Selepas tamat SMA tahun
1973, setahun kemudian dia hijrah ke Jakarta. Kendati tinggal di tanah rantau, kecintaannya
terhadap kesenian tanah leluhurnya tak pupus.
Pada tahun 1992, dia mendirikan Sanggar Gordang Sambilan di
Bogor yang berjuluk Kota Hujan. Dolok
itu artinya gunung, Martimbus berarti.
“Jadi Dolok Martimbus atinya gunung berapi
Soalnya di daerah kelahiran saya di Kabupaten Mandailing Natal, ada gunung berapi
namanya Sorik Marapi dalam bahasa batak disenut Dolok Martimbus,” jelas Herman.
Menurut Herman, tujuannya mendirikan Sanggar Dolok Martimbus
untuk melestarikan dan mengembangkan Gordang Sambilan serta mensosialisasikannya
kepada masyarakat luar Sumatea Utara
yang ada di Indonesia. “Soalnya Gordang Sambilan ini adanya cuma di
Mandailing,” jelas pria yang rambut kepalanya kini hampir seluruhnya memutih.
Sanggarnya itu terbuka untuk umum, bukan untuk orang Mandailing
perantauan saja. Pada awalnya memang masih orang asli Mandailing, namun sejak
1994 terutama para penari Tortor-nya sudah mayoritas dari Jawa Barat atau orang
Sunda. “Jumlah penari Tortor-nya kalau
diurut dari 1994 sampai sekarang ada 50 orang:,” akunya.
Menurutnya anggota
sanggarnya kerap keluar-masuk, terutama penarinya kalau sudah berkeluarga. “Biasanya
kita bina sejak mereka SMP sampai mahasiswa. Setelah menikah dan berumahtangga
apalagi kalau sudah punya anak, mereka
keluar. Lalu kita cari lagi anak SMP untuk kita didik dari bawah,” paparnya.
Kesulitannya
mengenbangkan Gordang Sambilan di tanah rantau, menurutnya bukan mencari
penerus sebagai regenerasinya, melainkan
mencari orang yang peduli. Artinya dibutuhkan dukungan dari pemerintah
daerah dan pusat terumata dukungan pendanaan. “Pengembangan Gordang Sambilan
tidak bisa hanya kelompok melainkan menyeluruh, misalnya dukungan dari Pemda,
pemerintah. Baru bisa berkembang. Jadi dana untuk mengembangkannya yang sulit.
Karena anak-anak ini kebanyakan perantau dan bekerja dengan membuka usaha
sendiri berupa warung kelontong,” terangnya.
Herman
mengatakan Gordang Sambilan sudah ada di Kabupaten Mandailing Natal sejak
ratusan tahun silam.
"Ada yang mengatakan sudah ada sejak 500
tahun yang lalu," jelasnya.
Menurut
dia, sebelum agama masuk ke daerah Mandailing pertunjukan Gordang Sambilan
dilakukan untuk ritual kepercayaan.
Orang-orang pada zaman dulu itu, lanjutnya membuat
sembilan lubang di tanah, lalu lubang-lubang itu ditutup dengan kulit kerbau
agar menghasilkan bunyi-bunyian ketika ditepuk. Pada perkembangannya, mereka mengganti tanah dengan kayu. Ada kayu
khusus untuk membuat gondang
(gendang), namanya kayu ingul yang tumbuh di daerah Mandailing.
Dia
menjelaskan musik Gordang Sambilan minimal dimainkan oleh sembilan orang. Alat
musik yang dimainkan terdiri atas sembilan gondang, seruling, tiga eneng-eneng, dua gong, sepasang
sasayang, dan sebuah mong-mongan.
Dulu,
seesuai adat hanya laki-laki yang boleh memainkan Gordang Sambilan. “Tapi kalau
sekarang, bila ada perempuan yang berminat, bisa saja," jelasnya.
Pada
masa lalu Gordang Sambilan hanya dimainkan oleh orang-orang tertentu di
kalangan istana. Setelah kemerdekaan, boleh dimainkan oleh siapa saja dan dipertunjukkan
untuk kalangan masyarakat umum. Sekarang Gordang Sambilan dimainkan untuk
upacara pernikahan adat, penyambutan tamu dan hiburan untuk masyarakat di
Mandailing bahkan di luar Mandailing.
Musik
Gordang Sambilan lanjutnya bisa juga
untuk mengiringi Tari Tortor. Tapi
untuk itu ada musik yang lebih spesifik, Gondang Boru. “Gondang Boru hanya
untuk mengiringi Tortor dan pencak silat. Tidak bisa untuk yang lain," jelasnya.
Sanggar yang dipimpinya kini beranggotan ada 20 orang dari anggota
paling senior senior menengah sampai pemula. Sanggarnya kerap
diundang ke berbagai daerah untuk memainkan Gordang Sambilan. Biasanya untuk
acara resepsi pernikahan, event program pariwisata lewat budaya, dan lainnya
Kalau di TMII, Anjungan Sumatera Utara, sanggarnya rutin
tampil dari tahun 1994 sekali dalam 2 bulan.
Paling jauh sanggar ini tampil ke Kalimantan tahun 2011 untuk acara perkawinan. Sebelumnya, tahun 2010 ikut
meramaikan acara Jakarnaval, dan pada tahun 2013 tampil di gedung Kementerian Pariwisata.
Tahun lalu grupnya ikut memeriahkan acara Jakarta Marathon 2014 dan di ujung tahun
2014 tepatnya tanggal 20 Desember 2014, tampil dalam acara penutupan Kaleidoskop
Seni Budaya Jakarta di Teater Besar, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.
Grupnya menampilkan Instrumen musik Gordang Sambilan berkolaborasi dengan grup
musik Mahagenta membawakan lagu-lagu daerah seperti “Anak Kampung” dan
“Sitogol” dan dua lagu pop yakni “Kala Cinta Menggoda’ yang dipopulerkan
Chrisye dan “Damai” milik Swara Marhadhika.
Soal biaya pementasan, Herman mengaku tidak memasang tarif. “Yang terpenting kita
dapat wadah untuk memperkenalkan Gordang Sambilan kepada mayarakat luas Jakarta
dan tingkat Nasional. Itu misi kita, jadi tidak terpaku bayarannya. Ada
kesempatan dan ada biaya transportasinya, kita langsung ambil kesempatan itu,”
jelasnya.
Prinsipnya itu sesuai dengan jiwanya sebagai relawan khusus
mengembangkan Gordang Sambilan. ”Kita misinya mengembangkan budaya bukan hanya
Gordang Sambilan di tanah perantauan. Tapi budaya-budaya lain yang ada di
Mandailing sreperti adat perkawinan dari awal hingga puncaknya,” terangnya.
Kalau ada yang nanggap
untuk acara perkawinan secara adat utuh dari awal sampai akhir, dia terlebih
dulu membicarakan dengan penanggap. “Yang pasti kita tak mau memberatkan pihak
yang punya hajat,” ungkapnya.
Saat tampil dalam acara Jakarta Marathon tahun lalu,
sanggarnya memainkan Gordang Sambilan. Dia membawa 4 orang pemukul gendang, seorang
peniup seruling, dan seorang pemukul gong. “Seharusnya kalau lengkap ada 12
orang untuk pemukul gendang, gong, serunai, seruling, dan nongneng (gong kecil)," jelasnya.
Para
pemainnya mengenakan pakaian serba kuning dari ikat kepala, baju lengan panjang
sampai celana panjangnya, lebih mirip pakaian pria orang Melayu.
Seluruh peralatannya (gendangnya) dibuat sendiri. “Kalau gendang
yang asli ada di rumah karena terlalu berat kalau dibawa, kecuali untuk acara
adat. Yang kami bawa sekarang gendang dari flat yang lebih ringan tapi suaranya
sudah kita selaraskan dengan yang aslinya,” terangnya.
Keberadaan mereka berhasil membetot perhatian bukan hanya
penonton di seberang jalan, pun sejumlah pelari dalam dan luar negeri. Bahkan
ada beberapa pelari bule yang berteriak horas..,
horas ke arah mereka sambil melambaikan tangan.
Pada
waktu bersamaan, grupnya juga tampil di Museum Pewayangan, TMII, ditanggap
untuk acara resepsi pernikahan. Jadi hari itu, dia membagi anggota sanggarnya menjadi
dua tim. Tim pertama untuk acara Jakarta Marathon dan satu tim lagi untuk acara
perkawinan.
Menurut
Herman dengan sering tampil di berbagai tempat dan berbagai kesempatan, akan
semakin banyak orang yang mengetahui Gordang Sambilan. Cari itulah yang dia
tempuh dan akan terus dilakukannya hingga akhir hayat di kandung badan.
Mengenai pengklaiman Malaysia terhadap kesenian Gordang Sambilan
tahun 2012 lalu, Herman menganggap itu sebagai momen positif
untuk mengangkat budaya Batak ini sebagai warisan dunia.
Mengapa bisa terjadi begitu? Karena dulu ada orang Mandailing
yang merantau ke Malaysia sejak ratusan tahun silam, kemudian mereka mengembangkan
Gordang Sambilan turun temurun sampai sekarang di Negeri Jiran itu.. “Tentunya
kita tidak menyalahkan kalau itu dikembangkan. Cuma yang kita harapkan jangan
sampai diklaim sebagai milik asli Malaysia,” jelasnya.
Berdasarkan
catatan lain, tertulis warga Mandailing yang migrasi ke Malaysia terjadi dari
abad 18.
Herman
pun mengimbau kepada pemerintah agar
memperhatikan dan mengangkat Gordang Sambilan mengingat musik tradisional ini
memiliki nilai budaya dan sejarah yang tinggi sampai orang luar pun mau mengaku
sebagai milikinya.
Sejarah Gordang
Sambilan
Warga
Mandailing ada yang berpendapat, Gordang Sambilan sudah mucul sejak 1575 silam
di tanah Mandailing.
Gordang Sambilan merupakan long drum terpanjang di dunia,
dengan bentuk dan bunyi unik dan khas. Tak heran harganyan cukup mahal, bisa
mencapai 20 hingga 80 puluh juta rupiah. Gordang Sambilan terbuat dari kayu
ingul (Ruta angustifola) yaitu sejenis kayu hutan dengan dinding
serat yang tebal dan tidak mudah pecah serta memiliki ketahanan terhadap air.
Gordang
Sambilan artinya sembilan buah gendang. Sembilan gendang ini tidak berdiri
sendiri tetapi disertai alat musik lainnya seperti beberapa buah gong, cymbal
(tali sasayat), dan alat musik tiup.
Dahulu
kala Gordang Sambilan termasuk alat musik sakral. Untuk memainkannya harus
minta ijin dari para tetua adat dan tak bisa setiap saat dimainkan, hanya pada
acara tertentu seperti upacara pernikahan ataupun kematian.
Belakangan
ini, terlebih sejak ada klaim dari Malaysia, Gordang Sambilan mulai lebih
dikencangkan lagi gaungnya di Sumatera Utara dan di sejumlah tanah perantauan
oleh para senimannya yang idealis, termasuk dari Kota Hujan, Bogor. Itu tak
lain tak bukan untuk memperkenalkannya ke masyarakat luas, lewat acara
pernikahan, festival, konser musik, dan event lainnya.
Naskah & foto: sangpujangga (ronabudaya@gmail.com)
Captions:
1. Aksipemain Gordan Sambilan, musik asli Suku Mandailing, Sumut.
2. Seniman asli Mandailing Ir. Herman
Adil Rangkuti bersama para pemain Gordang Sambilan
dari Sanggar Dolok Martimbus yang didirkannya di Bogor tahun 1992.
3. Musik Gordang
Sambilan memeriahkan acara Jakarta Marathon, beberapa waktu lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar