Jumat, 16 Januari 2015

Mengaungkan Gordang Sambilan di Tanah Rantau

Trungtungtung.., tungtung. Trungtungtung.., tungtung… Begitu bunyi gendang yang dipukul para pemain Gordang Sambilan. Suaranya bertalu-talu membangunkan semangat, sebagaimana energi yang kerap ditimbulkan alat musik pukul tradisonal lainnya. Apalagi ditabuh serempak dan cepat oleh beberapa pemain, mampu mengajak orang menggoyangkan badan, minimal menghentakkan kaki.
Gordang Sambilan merupakan kesenian Suku Mandailing. Menariknya suara Gordang Sambilan yang terdengar itu bukan berada di tanah kelahirannya yakni di Kabupaten Mandailing Natal (Madina) atau di sejumlah kabupaten lain di Sumatera Utara seperti Padang Lawas, Padang Lawas Utara, Tapanuli Selatan, Labuhanbatu Utara, Labuhanbatu Selatan, Labuhanbatu, Asahan, dan Kabupaten Batubara atau di Sumatera Barat terutama di Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Pasaman Barat serta di Riau khususnya di Kabupaten Rokan Hulu, melainkan di Bogor, Jawa Barat yang letaknya sangat jauh di luar tempat tinggal orang-orang Mandailing tersebut.
Kalau tidak percaya, datanglah ke Sanggar Dolok Martimbus di Komplek PDK, Ciparigi, Bogor Utara, Jawa Barat. Di sana Anda akan melihat bagaimana sejumlah orang mandailing perantauan tengah memankan Gordang Sambilan. Bahkan penari Tortor-nya kebanyakan para perempuan muda asli Sunda, suku asli Jawa Barat.
Ini membuktikan Gordang Sambilan dan Tortor sudah meluas dan berkembang di tanah rantau serta diminati suku lain.
Fenomena menggembirakan ini bukan terjadi begitu saja. Ini berkat kerja keras seniman asli Mandailing bernama Ir. Herman Adil Rangkuti. Selepas tamat SMA tahun 1973,  setahun kemudian dia hijrah ke Jakarta. Kendati tinggal di tanah rantau, kecintaannya terhadap kesenian tanah leluhurnya tak pupus.
Pada tahun 1992, dia mendirikan Sanggar Gordang Sambilan di Bogor yang berjuluk Kota Hujan. Dolok itu artinya gunung, Martimbus berarti. “Jadi Dolok Martimbus atinya gunung berapi Soalnya di daerah kelahiran saya di Kabupaten Mandailing Natal, ada gunung berapi namanya Sorik Marapi dalam bahasa batak disenut Dolok Martimbus,” jelas Herman.
Menurut Herman, tujuannya mendirikan Sanggar Dolok Martimbus untuk melestarikan dan mengembangkan Gordang Sambilan serta mensosialisasikannya kepada masyarakat luar Sumatea Utara  yang ada di Indonesia. “Soalnya Gordang Sambilan ini adanya cuma di Mandailing,” jelas pria yang rambut kepalanya kini hampir seluruhnya memutih.
Sanggarnya itu terbuka untuk umum, bukan untuk orang Mandailing perantauan saja. Pada awalnya memang masih orang asli Mandailing, namun sejak 1994 terutama para penari Tortor-nya sudah mayoritas dari Jawa Barat atau orang Sunda.  “Jumlah penari Tortor-nya kalau diurut dari 1994 sampai sekarang ada 50 orang:,” akunya.
Menurutnya  anggota sanggarnya kerap keluar-masuk, terutama penarinya kalau sudah berkeluarga. “Biasanya kita bina sejak mereka SMP sampai mahasiswa. Setelah menikah dan berumahtangga apalagi kalau sudah punya anak,  mereka keluar. Lalu kita cari lagi anak SMP untuk kita didik dari bawah,” paparnya.
Kesulitannya  mengenbangkan Gordang Sambilan di tanah rantau, menurutnya bukan mencari penerus sebagai regenerasinya, melainkan   mencari orang yang peduli. Artinya dibutuhkan dukungan dari pemerintah daerah dan pusat terumata dukungan pendanaan. “Pengembangan Gordang Sambilan tidak bisa hanya kelompok melainkan menyeluruh, misalnya dukungan dari Pemda, pemerintah. Baru bisa berkembang. Jadi dana untuk mengembangkannya yang sulit. Karena anak-anak ini kebanyakan perantau dan bekerja dengan membuka usaha sendiri berupa warung kelontong,” terangnya.
Herman mengatakan Gordang Sambilan sudah ada di Kabupaten Mandailing Natal sejak ratusan tahun silam. "Ada yang mengatakan sudah ada sejak 500 tahun yang lalu," jelasnya.
Menurut dia, sebelum agama masuk ke daerah Mandailing pertunjukan Gordang Sambilan dilakukan untuk ritual kepercayaan.
Orang-orang pada zaman dulu itu, lanjutnya membuat sembilan lubang di tanah, lalu lubang-lubang itu ditutup dengan kulit kerbau agar menghasilkan bunyi-bunyian ketika ditepuk. Pada perkembangannya, mereka mengganti tanah dengan kayu. Ada kayu khusus untuk membuat gondang (gendang), namanya kayu ingul yang tumbuh di daerah Mandailing.
Dia menjelaskan musik Gordang Sambilan minimal dimainkan oleh sembilan orang. Alat musik yang dimainkan terdiri atas sembilan gondang, seruling, tiga eneng-eneng, dua gong, sepasang sasayang, dan sebuah mong-mongan.
Dulu, seesuai adat hanya laki-laki yang boleh memainkan Gordang Sambilan. “Tapi kalau sekarang, bila ada perempuan yang berminat, bisa saja," jelasnya.
Pada masa lalu Gordang Sambilan hanya dimainkan oleh orang-orang tertentu di kalangan istana. Setelah kemerdekaan,  boleh dimainkan oleh siapa saja dan dipertunjukkan untuk kalangan masyarakat umum. Sekarang Gordang Sambilan dimainkan untuk upacara pernikahan adat, penyambutan tamu dan hiburan untuk masyarakat di Mandailing bahkan di luar Mandailing.
Musik Gordang Sambilan lanjutnya bisa  juga untuk mengiringi Tari Tortor. Tapi untuk itu ada musik yang lebih spesifik, Gondang Boru. “Gondang Boru hanya untuk mengiringi Tortor dan pencak silat. Tidak bisa untuk yang lain," jelasnya.
Sanggar yang dipimpinya kini beranggotan ada 20 orang dari anggota paling senior senior menengah sampai pemula. Sanggarnya kerap diundang ke berbagai daerah untuk memainkan Gordang Sambilan. Biasanya untuk acara resepsi pernikahan, event program pariwisata lewat budaya, dan lainnya
Kalau di TMII, Anjungan Sumatera Utara, sanggarnya rutin tampil dari tahun 1994 sekali dalam 2 bulan.  Paling jauh sanggar ini tampil ke Kalimantan  tahun 2011 untuk  acara perkawinan. Sebelumnya, tahun 2010 ikut meramaikan acara Jakarnaval, dan pada tahun 2013 tampil di  gedung Kementerian Pariwisata.
Tahun lalu  grupnya ikut memeriahkan acara Jakarta Marathon 2014 dan di ujung tahun 2014 tepatnya tanggal 20 Desember 2014, tampil dalam  acara penutupan  Kaleidoskop Seni Budaya Jakarta di Teater Besar, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Grupnya menampilkan Instrumen musik Gordang Sambilan berkolaborasi dengan grup musik Mahagenta membawakan lagu-lagu daerah seperti “Anak Kampung” dan “Sitogol” dan dua lagu pop yakni “Kala Cinta Menggoda’ yang dipopulerkan Chrisye dan “Damai” milik Swara Marhadhika.
Soal biaya pementasan, Herman mengaku  tidak memasang tarif. “Yang terpenting kita dapat wadah untuk memperkenalkan Gordang Sambilan kepada mayarakat luas Jakarta dan tingkat Nasional. Itu misi kita, jadi tidak terpaku bayarannya. Ada kesempatan dan ada biaya transportasinya, kita langsung ambil kesempatan itu,” jelasnya.
Prinsipnya itu sesuai dengan jiwanya sebagai relawan khusus mengembangkan Gordang Sambilan. ”Kita misinya mengembangkan budaya bukan hanya Gordang Sambilan di tanah perantauan. Tapi budaya-budaya lain yang ada di Mandailing sreperti adat perkawinan dari awal hingga puncaknya,” terangnya.
Kalau ada yang nanggap untuk acara perkawinan secara adat utuh dari awal sampai akhir, dia terlebih dulu membicarakan dengan penanggap. “Yang pasti kita tak mau memberatkan pihak yang punya hajat,” ungkapnya.
Saat tampil dalam acara Jakarta Marathon tahun lalu, sanggarnya memainkan Gordang Sambilan. Dia membawa 4 orang pemukul gendang, seorang peniup seruling, dan seorang pemukul gong. “Seharusnya kalau lengkap ada 12 orang untuk pemukul gendang, gong, serunai, seruling, dan nongneng (gong kecil)," jelasnya.
Para pemainnya mengenakan pakaian serba kuning dari ikat kepala, baju lengan panjang sampai celana panjangnya, lebih mirip pakaian pria orang Melayu.
Seluruh peralatannya (gendangnya) dibuat sendiri. “Kalau gendang yang asli ada di rumah karena terlalu berat kalau dibawa, kecuali untuk acara adat. Yang kami bawa sekarang gendang dari flat yang lebih ringan tapi suaranya sudah kita selaraskan dengan yang aslinya,” terangnya.
Keberadaan mereka berhasil membetot perhatian bukan hanya penonton di seberang jalan, pun sejumlah pelari dalam dan luar negeri. Bahkan ada beberapa pelari bule yang berteriak horas.., horas ke arah mereka sambil melambaikan tangan.
Pada waktu bersamaan, grupnya juga tampil di Museum Pewayangan, TMII, ditanggap untuk acara resepsi pernikahan. Jadi hari itu, dia membagi anggota sanggarnya menjadi dua tim. Tim pertama untuk acara Jakarta Marathon dan satu tim lagi untuk acara perkawinan.
Menurut Herman dengan sering tampil di berbagai tempat dan berbagai kesempatan, akan semakin banyak orang yang mengetahui Gordang Sambilan. Cari itulah yang dia tempuh dan akan terus dilakukannya hingga akhir hayat di kandung badan.
Mengenai pengklaiman Malaysia terhadap kesenian Gordang Sambilan tahun 2012 lalu, Herman menganggap itu sebagai momen positif untuk mengangkat budaya Batak ini sebagai warisan dunia.
Mengapa bisa terjadi begitu? Karena dulu ada orang Mandailing yang merantau ke Malaysia sejak ratusan tahun silam, kemudian mereka mengembangkan Gordang Sambilan turun temurun sampai sekarang di Negeri Jiran itu.. “Tentunya kita tidak menyalahkan kalau itu dikembangkan. Cuma yang kita harapkan jangan sampai diklaim sebagai milik asli Malaysia,” jelasnya.
Berdasarkan catatan lain, tertulis warga Mandailing yang migrasi ke Malaysia terjadi dari abad 18.
Herman pun  mengimbau kepada pemerintah agar memperhatikan dan mengangkat Gordang Sambilan mengingat musik tradisional ini memiliki nilai budaya dan sejarah yang tinggi sampai orang luar pun mau mengaku sebagai milikinya.

Sejarah Gordang Sambilan
Warga Mandailing ada yang berpendapat, Gordang Sambilan sudah mucul sejak 1575 silam di tanah Mandailing.

Gordang Sambilan merupakan long drum terpanjang di dunia, dengan bentuk dan bunyi unik dan khas. Tak heran harganyan cukup mahal, bisa mencapai 20 hingga 80 puluh juta rupiah. Gordang Sambilan terbuat dari kayu ingul (Ruta angustifola) yaitu sejenis kayu hutan dengan dinding serat yang tebal dan tidak mudah pecah serta memiliki ketahanan terhadap air.

Gordang Sambilan artinya sembilan buah gendang. Sembilan gendang ini tidak berdiri sendiri tetapi disertai alat musik lainnya seperti beberapa buah gong, cymbal (tali sasayat), dan alat musik tiup.

Dahulu kala Gordang Sambilan termasuk alat musik sakral. Untuk memainkannya harus minta ijin dari para tetua adat dan tak bisa setiap saat dimainkan, hanya pada acara tertentu seperti upacara pernikahan ataupun kematian.

Belakangan ini, terlebih sejak ada klaim dari Malaysia, Gordang Sambilan mulai lebih dikencangkan lagi gaungnya di Sumatera Utara dan di sejumlah tanah perantauan oleh para senimannya yang idealis, termasuk dari Kota Hujan, Bogor. Itu tak lain tak bukan untuk memperkenalkannya ke masyarakat luas, lewat acara pernikahan, festival, konser musik, dan event lainnya. 

Naskah & foto: sangpujangga (ronabudaya@gmail.com)

Captions:
1. Aksipemain Gordan Sambilan, musik asli Suku Mandailing, Sumut.
2. Seniman asli Mandailing Ir. Herman Adil Rangkuti bersama para pemain Gordang Sambilan dari Sanggar Dolok Martimbus yang didirkannya di Bogor tahun 1992.
3. Musik Gordang Sambilan memeriahkan acara Jakarta Marathon, beberapa waktu lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar