Sejumah anak sedang bermain di tepi hutan Kabong,
Pulau Penutuk, Bangka Selatan. Merekabegtu ceria, tak bisa diam, berlari kesana-kemari sambil
tertawa dan bercanda. Keasyikan bermain, mereka sampai memasuki hutan Kabong
yang kabarnya banyak hatunya. Dan benar
saja mereka bertemu dengan hantu Diwo sehingga mereka kesurupan.
Itulah garis besar isi tarian berjudul Diwo
Utan Kabong yang dibawakan tujuh penari terdiri atas lima penari pria dan dua
penari perempuan dari Sanggar Seni Sanggar Seni Dharma Habangka asal Toboali,
Kabupaten Bangka Selatan (Basel), Pulau Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung (Babel) dalam acara peluncuran even Toboali City On Fire (TCOF)
Season 3 di Balairung Soesilo Soedarman, Gedung Sapta Pesona, Jakarta,
Kamis (7/6/2018).
TCOF jilid 3 tahun ini diluncurkan oleh Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya bersama dengan Gubernur Babel H. Erzaldi Rusman dan Bupati Basel Justiar Noer.
Kostum tari yang dikenakan para penari Diwo Utan Kabong terbilang sangat simple.
Kelima penari laki-lakinya memakai baju tak berlengan berwarna coklat dan
celana batik dari kain cual selutut, ditambah ikat kepala juga dai kain cual.
Sementara dua penari perempuannya mengenakan atasan berwarna coklat dengan lengan berwarna kuning.
Menurut ketua Sanggar Seni Dharma Habangka, Rendy Agustian Jikrin, Diwo Utan Kabong
merupakan tarian modifikasi yang terinspirasi dari cerita rakyat di Toboali, Basel.
Tarian itu memang menggambarkan keceriaan
anak-anak yang sedang bermain di Hutan Kabong pada siang hari.
“Tanpa disadari mereka bertemu dengan sosok
diwo hantu yang menyerupai manusia.
Akhirnya mereka kemasukan dan terjebak di alam yang lain. Mereka disembunyikan
oleh diwo sehingga lupa diri, lemah, dan menangis ketakutan,” terang Rendy yang pernah menjadi Bujang Bangsel 2017.
Kata Rendy lagi, di awal tarian, gerakan para
penarinya antraktif karena mengambar keceriaan anak-anak meskipun yang
menarikannya bukan anak-anak.
Richard Anugrah, salah satu penari laki-laki
dalam tarian itu yang berperan sebagai Diwo atau hantu menambahkan sampai saat
ini Hutan Kabung di Pulau Penutuk dipercayai masyarakat Basel
sebagai hutan terlarang lantaran dihuni oleh diwo atau hantu.
Selain menampilan tarian Diwo Utan Kabong, para penari Sanggar
Seni Dharma Habangka juga membawakan tarian kedua berjudul Thongin.
Tarian itu menceritakan tentang masyarakat Tioghoa di Basel. “Thongin
merupakan sebutan masyarakat keturunan Thionghoa yang menetap sejak lama di Basel,”
jelas Rendy.
Tarian tersebut dibawakan 10 penari, terdiri atas 5 penari
perempuan dan 5 laki-laki dengan kostum tari berwarna merah menyala.
“Kehidupan masyrakat Melayu di Basel juga tak
lepas dari pengaruh budaya Tionghoa. Mereka hidup rukun dan damai,” terang
Rendy.
Kedua tarian itu produksi Sanggar Seni Dharma
Habangka dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Basel.
Sanggar Seni Dharma Habangka sendiri baru
pertama kali tampil di Gedung Sapta Pesona yang menjadi kantor Kementerian
Pariwisata (Kemenpar).
Prestasi sanggar yang terbentuk pada 21 Novemberb 2018 ini antara lain pernah meraih juara III Nasional Penyaji Terbaik.
Di tingkat Provinsi Babel pada tahun 2016 lalu sebagai Penyaji Unggulan 3 Festival Serumpun Sebalai, dan sebagai Duta Seni dan Budaya Festival Kemerdekaan di Danau Toba Sumatera Utara 2016 lalu.
Di tingkat Provinsi Babel pada tahun 2016 lalu sebagai Penyaji Unggulan 3 Festival Serumpun Sebalai, dan sebagai Duta Seni dan Budaya Festival Kemerdekaan di Danau Toba Sumatera Utara 2016 lalu.
Selain itu juara 1 tingkat nasional berturut-turut
di even TCOF yang
pertama dan kedua, tepatnya tahun 2016
dan 2017.
“Lomba tari di TCOF boleh dibilang bertaraf nasional karena
ada beberapa pesertanya yang berasal dari luar Provinsi Kepulauan Babel,” pungkas Rendy.
Naskah & foto:
adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)
Captions:
1.
Para penari Diwo Utan Kabong. (foto; adji)2. Penulis bersama para penari Thongin. (foto: rendy)
3. Suguhan Tari Thongin di acara peluncuran even Toboali City on Fire di Jakarta. (foto: titi)
4. Penulis berfoto bersama para penari Diwo Utan Kabong dan Thongin. (foto: rendy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar