Tiga penari perempuan muncul mengawali tarian. Ada Nimas
(19), Jasmin (18), dan Feriana (20). Disusul kemudian empat penari perempuan
lainnya. Dari kostum dan gerak tari yang mereka bawakan, bisa ditebak tariannya
kental bernuansa Islami.
Ketika mereka melakukan formasi duduk sejajar kemudian tangan
bergerak ke belakang dan ke depan, terasa ada unsur Tari Saman Aceh masuk di dalam tarian itu.
Nuansa Islami Arab pun semakin menguat dengan adanya musik dan lantunan shalawatan.
Disamping gerakan, pakaian yang mereka kenakan cukup menyita
perhatian. Ketujuhnya mengenakan kostum busana muslimah dengan jilbab ditutupi bahan
tambahan berbentuk seperti topi. Warna pakaiannya didominasi putih dan ungu. Tangan
sang penari pun ditutup kaus tangan berwarna putih, begitupun kakinya
terbungkus kaus kaki putih.
Pakaian yang dikenakan para penari Hadrah Kuntulan ini juga
dipengaruhi busana penari Gandrung Banyuwangi dan pengaruh Bali.
“Putih ini melambangkan kesucian. Kalau biru, katanya
melambangkan warna Burung Kuntul atau Bangau. Bukan warna lambang janda lho,” ujar Jasmin, salah
satu dari tujun penari di belakang stage usai menarikan Hadrah Kuntulan, tarian
tradisonal Banyuwangi dalam acara launching International
Tour de Banyuwangi Ijen (ITdBI) 2016 di di Balairung Soesilo
Soedarman, Gedung Sapta Pesona Jakarta, kantor Kementerian Pariwisata (Kemenpar),
Senin (28/3).
“Benar, tarian ini begitu terasa muatan Islaminya.Tarian ini
sebagai tanda ucap syukur atas kebesaran dan rahmat Allah SWT,” tambah Jasmin
yang masih berstatus mahasiswi semester 2, jurusan Pendidikan Sendratasik
angkatan 2015 di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
“Tarian ini bisa ditarian berapa pun jumlahnya. Penarinya
memang wajib mengenakan kostum berbusana muslimah saat tampil. Tapi kalau kesehariannya
bebas aja. Buktinya dari tujuh penari ini, cuma saya yang berhijab,” aku Jasmin.
Ketujuh penari yang membawakan Hadrah Kuntalan ini berasal
dari dua sanggar yakni Sanggar Mustika dari
Bekasi dan Sanggar Sayugringsing dari Banyuwangi. “Kedua sanggar ini,
masing-masing pemiliknya masih satu keluarga, asli Banyuwangi,” tambah Jasmin.
Hadrah Kuntulan yang juga disebut Kundaran, merupakan salah
satu dari sekian seni tradisi Banyuwangi yang masih bertahan hingga sekarang.
Awalnya pertunjukan seni ini didominasi penari laki-laki. Pertemuannya dengan kesenian asli Banyuwangi
seperti Gandrung, Damarwulan, Trengganis, dan tarian lainnya merubah Hadrah Kuntulan
menjadi kesenian yang beda.
Tidak hanya gerakan tarinya, musik dan tembang-tembang yang dibawakan pun merupakan kolaborasi unik kesenian tradisi daerah Banyuwangi dan kesenian dari padang pasir.
Tidak hanya gerakan tarinya, musik dan tembang-tembang yang dibawakan pun merupakan kolaborasi unik kesenian tradisi daerah Banyuwangi dan kesenian dari padang pasir.
Penambahan istilah Kuntulan dalam Hadrah
ini mencuatkan semangat kebersamaan
dan kerukunan sesama manusia yang terilhami dari cara hidup Burung Kuntul atau Bangau
yang senantiasa memanggil teman-temannya saat mendapatkan makanan.
Perangkat musik kuntulan dipengaruhi musik dan gerak tari
Gandrung yang menjadi tarian khas Banyuwangi. Ada enam buah rebana sebagai alat
musik utamanya, tambahan alat musik tradisional lain seperti beduk kecil,
kenong, kluncing (triangle), gong, jidor (semacam drum), beduk besar, biola,
dan kadang keyboard (saat ini) sebagai penguat nada serta bonang Bali yang kadang
dipakai dalam kesenian Kuntulan ini. Sering juga ditambahkan angklung caruk
sebagai pemanis.
Irama musik yang digunakan irama silang (cross rhythm) dan
poly rhythm atau irama banyak sebagaimana pada gamelan Bali. Ini dimungkinkan
karena letak Banyuwangi yang bertetangga dengan Bali.
Karakter iramanya pun menghentak cukup keras, wajar banyak orang menyebutnya musik cadas khas
Banyuwangi. Lagu-lagu yang dilantunkan tidak memulu religi Islami, kadang lagu
daerah dan juga lagu bergenre pop yang tengah ngetop.
Harumkan Nama Banyuwangi
Berdasarkan catatan sejarah, kesenian Hadrah ini muncul pada
tahun 1950. Instrumen musik yang mengiringinya saat itu Rebana
dan Kendang.
Para penarinya ketika itu laki-laki dengan bentuk tarian
menyerupai tarian Saman dari Aceh. Sedangkan tembang yang dilantunkan adalah
baid-baid Burdah.
Awalnya tarian ini dikembangkan oleh para santri, namun
tidak terlalu mendapat simpatik warga karena tidak mengikuti bahasa daerah, ditambah
pola eksklusif kaum santri dengan penduduk sekitar sehingga terkesan berjarak.
Baru sekitar tahun 1980-an, kesenian ini bertransformasi menjadi
Hadrah Kuntulan. Nuansa Arab-Islam dan muatan lokal berimbang persentasenya
menjadi 50:50.
Aransemen musikalnya ditambahi dengan beberapa alat lainnya
seperti gendang, bonang Bali, dan kluncing (triangle) hingga kian memperjelas
nuansa daerah dan agama Islam dalam unsur kesenian Kuntulan.
Kemudian muncul Kundaran sebagai tahapan terakhir
perkembangan Kuntulan dengan harapan semakin diminati masyarakat sekaligus meningkatan kesadaran
beragama.
Hadrah Kuntulan yang ada di Banyuwangi bukan semata milik
masyarakat Osing (suku atau penduduk asli Banyuwangi). Kebetulan saja yang menguasai dan sering tampil kebanyakan
keturunan Osing.
Dalam perkembangannya
Hadrah Kuntulan pun bisa dimainkan oleh pemeluk agama lain dan etnis dari suku lain pula.
Berkat tarian ini, nama Banyuwangi ikut mengharum. Prestasinya
bukan cuma Nasional tapi juga dunia.
Dalam pentas kesenian Nasional misalnya, Hadrah Kuntulan pernah menyabet penghargaan sebagai pemenang lomba Festival Nasional di Masjid Istiqlal Jakarta. Sedangkan di tingkat tnternasional, beberapa kali tampil di luar negeri antara lain di Jepang.
Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com)
Dalam pentas kesenian Nasional misalnya, Hadrah Kuntulan pernah menyabet penghargaan sebagai pemenang lomba Festival Nasional di Masjid Istiqlal Jakarta. Sedangkan di tingkat tnternasional, beberapa kali tampil di luar negeri antara lain di Jepang.
Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar