Selasa, 29 Maret 2016

Nuansa Islami Membungkus Tarian Hadrah Kuntulan Banyuwangi

Tiga penari perempuan muncul mengawali tarian. Ada Nimas (19), Jasmin (18), dan Feriana (20). Disusul kemudian empat penari perempuan lainnya. Dari kostum dan gerak tari yang mereka bawakan, bisa ditebak tariannya kental bernuansa Islami.
Ketika mereka melakukan formasi duduk sejajar kemudian tangan bergerak ke belakang dan ke depan, terasa ada unsur  Tari Saman Aceh masuk di dalam tarian itu. Nuansa Islami Arab pun semakin menguat dengan adanya  musik dan lantunan shalawatan
Disamping gerakan, pakaian yang mereka kenakan cukup menyita perhatian. Ketujuhnya mengenakan kostum busana muslimah dengan jilbab ditutupi bahan tambahan berbentuk seperti topi. Warna pakaiannya didominasi putih dan ungu. Tangan sang penari pun ditutup kaus tangan berwarna putih, begitupun kakinya terbungkus  kaus kaki putih.
Pakaian yang dikenakan para penari Hadrah Kuntulan ini juga dipengaruhi busana penari Gandrung Banyuwangi dan pengaruh Bali.
“Putih ini melambangkan kesucian. Kalau biru, katanya melambangkan warna Burung Kuntul atau Bangau.  Bukan warna lambang janda lho,” ujar Jasmin, salah satu dari tujun penari di belakang stage usai menarikan Hadrah Kuntulan, tarian tradisonal Banyuwangi dalam acara launching International Tour de Banyuwangi Ijen (ITdBI) 2016 di di Balairung Soesilo Soedarman, Gedung Sapta Pesona Jakarta, kantor Kementerian Pariwisata (Kemenpar), Senin (28/3).
“Benar, tarian ini begitu terasa muatan Islaminya.Tarian ini sebagai tanda ucap syukur atas kebesaran dan rahmat Allah SWT,” tambah Jasmin yang masih berstatus mahasiswi semester 2, jurusan Pendidikan Sendratasik angkatan 2015 di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
“Tarian ini bisa ditarian berapa pun jumlahnya. Penarinya memang wajib mengenakan kostum berbusana muslimah saat tampil. Tapi kalau kesehariannya bebas aja. Buktinya dari tujuh penari ini, cuma saya yang berhijab,” aku Jasmin.
Ketujuh penari yang membawakan Hadrah Kuntalan ini berasal dari  dua sanggar yakni Sanggar Mustika dari Bekasi dan Sanggar Sayugringsing dari Banyuwangi. “Kedua sanggar ini, masing-masing pemiliknya masih satu keluarga, asli Banyuwangi,” tambah Jasmin.
Hadrah Kuntulan yang juga disebut Kundaran, merupakan salah satu dari sekian seni tradisi Banyuwangi yang masih bertahan hingga sekarang.
Awalnya pertunjukan seni ini didominasi penari laki-laki. Pertemuannya dengan kesenian asli Banyuwangi seperti Gandrung, Damarwulan, Trengganis, dan tarian lainnya merubah Hadrah Kuntulan menjadi kesenian yang beda.

Tidak hanya gerakan tarinya, musik dan tembang-tembang yang dibawakan pun merupakan kolaborasi unik kesenian tradisi daerah Banyuwangi dan kesenian dari padang pasir.
Penambahan istilah Kuntulan dalam Hadrah ini mencuatkan semangat kebersamaan dan kerukunan sesama manusia yang terilhami dari cara hidup Burung Kuntul atau Bangau yang senantiasa memanggil teman-temannya saat mendapatkan makanan.
Perangkat musik kuntulan dipengaruhi musik dan gerak tari Gandrung yang menjadi tarian khas Banyuwangi. Ada enam buah rebana sebagai alat musik utamanya, tambahan alat musik tradisional lain seperti beduk kecil, kenong, kluncing (triangle), gong, jidor (semacam drum), beduk besar, biola, dan kadang keyboard (saat ini) sebagai penguat nada serta bonang Bali yang kadang dipakai dalam kesenian Kuntulan ini. Sering juga ditambahkan angklung caruk sebagai pemanis.
Irama musik yang digunakan irama silang (cross rhythm) dan poly rhythm atau irama banyak sebagaimana pada gamelan Bali. Ini dimungkinkan karena letak Banyuwangi yang bertetangga dengan Bali.
Karakter iramanya pun menghentak cukup keras, wajar banyak orang menyebutnya musik cadas khas Banyuwangi. Lagu-lagu yang dilantunkan tidak memulu religi Islami, kadang lagu daerah dan juga lagu bergenre pop yang tengah ngetop.

Harumkan Nama Banyuwangi
Berdasarkan catatan sejarah, kesenian Hadrah ini muncul pada tahun 1950. Instrumen musik yang mengiringinya saat itu Rebana dan Kendang.
Para penarinya ketika itu laki-laki dengan bentuk tarian menyerupai tarian Saman dari Aceh. Sedangkan tembang yang dilantunkan adalah baid-baid Burdah.
Awalnya tarian ini dikembangkan oleh para santri, namun tidak terlalu mendapat simpatik warga karena tidak mengikuti bahasa daerah, ditambah pola eksklusif kaum santri dengan penduduk sekitar sehingga terkesan berjarak.
Baru sekitar tahun 1980-an, kesenian ini bertransformasi menjadi Hadrah Kuntulan. Nuansa Arab-Islam dan muatan lokal berimbang persentasenya menjadi 50:50.
Aransemen musikalnya ditambahi dengan beberapa alat lainnya seperti gendang, bonang Bali, dan kluncing (triangle) hingga kian memperjelas nuansa daerah dan agama Islam dalam unsur kesenian Kuntulan.
Kemudian muncul Kundaran sebagai tahapan terakhir perkembangan Kuntulan dengan harapan semakin diminati  masyarakat sekaligus meningkatan kesadaran beragama.
Hadrah Kuntulan yang ada di Banyuwangi bukan semata milik masyarakat Osing (suku atau penduduk asli Banyuwangi). Kebetulan saja  yang menguasai dan sering tampil kebanyakan keturunan Osing.
Dalam perkembangannya Hadrah Kuntulan pun bisa dimainkan oleh pemeluk agama lain dan etnis dari suku lain pula.
Berkat tarian ini, nama Banyuwangi ikut mengharum. Prestasinya bukan cuma Nasional tapi juga dunia.

Dalam pentas kesenian Nasional misalnya, Hadrah Kuntulan pernah menyabet penghargaan sebagai pemenang lomba Festival Nasional di Masjid Istiqlal Jakarta. Sedangkan di tingkat tnternasional, beberapa kali tampil di luar negeri antara lain di Jepang.

Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar