"Islam
harus diajarkan dengan menggunakan alat kesenian yang ada, dan harus sedikit
demi sedikit," begitu petuah yang disampaikan Sunan Kalijaga, salah satu
Wali Songo di Tanah Jawa yang menyebarkan ajaran Agama Islam lewat media
wayang, tempo dulu.
Ketika
itu wayang sebagai media dakwah masih sebatas menyampaikan syariat, agar orang
tahu apa itu Islam kemudian membaca syahadat atau kalimah thasyibah
dengan mengamalkan sebagian ajaran Islam saja.
Belum
sampai kepada pengamalan thariqat yakni menjalani rukun iman yang enak
dan mengamalkan rukun Islam yang lima itu. Apalagi sampai ke tahap ma’rifat
yaitu mencapai hakikat lewat jalan thariqat dengan segala keimanan sebagaimana
pendapat Prof T. Tohir Abdul Muin dalam Kitab Pengantar Ilmu Kalam.
Pada
masa Wali
Sembilan di Jawa, wayang dibagi menjadi tiga yakni Wayang Kulit di Timur, Wayang Wong (orang) di Jawa Tengah, dan Wayang Golek di Jawa Barat.
"Carilah wayang di Jawa Barat, golek ono
dalam Bahasa Jawi, sampai ketemu wong-nya isinya yang di tengah. Jangan hanya ketemu kulitnya saja di Timur di wetan wiwitan. Mencari jati diri
itu di Barat atau Kulon atau Kula yang ada di dalam dada hati manusia,” begitu petuah Kalijaga dan Raden Patah yang berjasa besar
meng-Islamkan masyarakat Jawa lewat wayang saat itu.
Maksud para wali tersebut wayang itu tulen dari Jawa asli, pakeliran itu artinya
pasangan antara bayang bayang dan barang aslinya. Seperti dua kalimah syahadat.
Adapun Tuhan masyrik wal maghrib itu harus di terjemahkan
ke dalam Bahasa Jawa dulu yang artinya wetan kawitan dan kulon atau kula atau
saya yang ada di dalam. Carilah Tuhan yang kawitan pertama dan yang ada di
dalam hati manusia.
Ketika pertunjukan wayang yang menampilkan
“Tuhan” atau “Dewa” dalam wujud
manusia dilarang,
munculah boneka wayang yang terbuat dari
kulit sapi, jadi yang ditonton
bayangannya saja. Wayang inilah yang sekarang kita kenal sebagai wayang kulit.
Wayang
sebagai media dakwah sudah lama berlangsung. Dari jaman Hindu kemudian masuknya
Islam ke Indonesia hingga kini masih eksis digunakan untuk itu termasuk
mensyiarkan Islam dan agama lainnya. Contoh wayang yang loyal memperkenalkan
nilai-nilai Islam adalah Wayang Sadat, Wayang Santri, dan Wayang Ajen.
Wayang Sadat diciptakan
Suryadi Warnosuhardjo asal Desa Mireng, Kecamatan Trucuk, Klaten pada
tahun 1985. Guru matematika di SPG Muhammadiyah Klaten ini sekaligus dalangnya.
Suryadi mengaku mendapat ide pembuatan wayang ini dari
ayahnya, yang menyarankan umat Islam harus mempunyai wayang yang tidak
berdasarkan cerita Hindu. Dia pun tergugah lalu mewujudkan ide itu dengan tekun
belajar mendalang sejak SMA.
Wayang Sadat dibuat sebagai penyeimbangan terhadap
perkembangan Islam yang disampaikan oleh para Wali dahulu yang masih
dipengaruhi sinkretisme karena mas,uknya pengaruh kebudayaan Jawa, Hindu, dan
Buddha dalam ajaran Agama Islam.
Suryadi bermaksud melanjutkan hakikat Islam yang terdapat
dalam gubahan pakeliran Wayang Purwa pada masa Kerajaan Demak, yaitu cerita
Jimat Kalimasada. Sedangkan, perkeliran pada masa perkembangan Wayang Beber,
Wayang Madya, dan Wayang Gedog, tidak pernah menyinggung roh Islam, tetapi
hanya cerita-cerita tentang raja-raja saja.
Kata “Sadat” sendiri
berasal dari kata syahadattain agar nafas Islam sebagai dakwah dalam
pergelarannya terasa sekaligus ingin melanjutnya tradisi Sekatenan berupa
pembacaan syahadat secara masal sebagaimana dilakukan pada masa Kerajaan Demak.
Sementara
Wayang Ajen lahir dari
proses kesadaran generasi muda pada Wayang Golek Sunda tradisi yang asli dengan
eksplorasi kreatif.
Menurut
Wawan Gunawan sang pendiri Wayang Ajen, wayang ini lahir dalam tafsir baru, membaca
tradisi dengan cara-cara modern sehingga menjadi sesuatu yang berbeda.
Penciptaan kembali struktur pertunjukan Wayang Golek
Sunda tradisi ini disesuaikan dengan format teater modern
dengan pendekatan konsep dramaturgi.
Wayang Golek Ajen selanjutnya disebut Wayang Ajen
diciptakan oleh Wawan Gunawan bersama Arthur S. Nalan pada tahun 1998, dan
pertamakali tampil dengan lakon ”Kidung Kurusetra” pada tahun 1999 dalam acara
Pekan Wayang Indonesia di TMII Jakarta.
Istilah "Ajen" diambil dari
Bahasa Sunda yang artinya ngajenan. Ngajenan artinya menghargai atau
sesuatu yang diberikan penghormatan atau penghargaan.
Secara filosofis dasar pemikiran Wayang Ajen ini di
dasarkan dari adanya proses dialogis generasi muda pewaris aktif kesenian
tradisional yang saling menghargai.
“Generasi muda yang memiliki ajen seni
tertentu pada tradisi, di mana tradisi dipandang sebagai suatu yang dinamis
tidak statis, dan tradisi adalah sumber inspirasi,”
kata Wawan sebelum tampil di event Semarak Wayang Pesona Indonesia 2016 yang
digelar Kementerian Pariwisata (Kemenpar) sekaligus untuk mempromosikan branding
PESONA INDONESIA di Parkir Timur Senayan, Jakarta, Sabtu (26/3) malam.
“Wayang
Ajen itu juga sufi, berupaya mensyiarkan tasawuf, ajaran Islam yang lebih
religius dengan pendekatan dzikrulloh kalimah tauhid Lailahaillallah
melalui Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah atau TQN,” terang Wawan.
Sedangkan
Wayang Santri yang lahir pada tahun 2006, dalam perjalanannya kini terus menjalankan misi
membantu para kyai untuk menjabarkan ‘kawruh’ (pengetahuan) Agama Islam.
Ki Enthus Susmono
sekaligus Bupati Tegal ketika itu mengakui awal lahirnya Wayang Santri ini bermula dari
diperolehnya gelar dalang terbaik Jawa Tengah yang diteruskan dengan ajang
Festival Wayang Internasional di Bali.
Kata
"Santri" berasal dari Bahasa Sansakerta, sastri yang mempunyai ciri
tiga hubungan. Pertama, Hablum Min Allah atau hubungan dengan Allah.
Kedua, Hablum Min Annas atau hubungan dengan manusia, dan ketiga Hablum
Alal Alamin atau hubungan dengan alam.
Kader
PKB ini kerap mementaskan cerita-cerita
lucu yang sering terjadi di kehidupan sehari-hari warga NU dan masyarakat
Indonesia pada umumnya. Sesekali ia menyindir atau mengingatkan pejabat di
negeri ini yang tidakamanah dalam menjalankan tugasnya dengan baik.
Dia
pun kerap menyelipkan lawakan cerdas
dalam cerita yang dikemas kekinian dan penuh kritikan. Salah satu wayangnya
bahkan sempat muncul Presiden Jokowi-JK, SBY bahkan Barrack Obama.
Wayang Santri bagi sebagian warga yang bermukim
di areal Pantura Tegal, pasti tak asing lagi dengan penampilan sosok dalang
asal Desa Bengle Kecamatan Talang Kabupaten Tegal ini.
Durasi Wayang Santri tidak digelar semalam suntuk.
Paling lama butuh waktu dua setengah jam dan paling cepat satu jam saja. Jumlah
pengrawit pun tidak terlalu banyak
sekitar sembilan
pengrawit, total sepuluh dengan sang dalanga.
Di setiap
pementasan Wayang Santri yang selalu dijejali peminatnya.
Nah,
ketika misionaris Katolik, Bruder Timotheus L. Wignyosubroto, FIC pada tahun 1960 dalam misinya menyebarkan agama Katolik, ia
mengembangkan Wayang Katolik, yang sumber ceritanya berasal dari Alkitab. Namun, atas saran PC Soetopranito SJ, namanya diganti menjadi Wayang Wahyu
sampai sekarang.
Pementasan
pertama Wayang Wahyu pada 2 Februari 1960 di gedung Sekolah Kejuruan Kepandaian Puteri Purbayan
Solo. Pementasan ini menampilkan serangkaian lakon Malaikat Mbalela, Manusia
Pertama Jatuh dalam Dosa, dan Kelahiran Tuhan Yesus Kristus. Wayang
ini mulanya disebut Wayang Katolik.
Pada 17 Oktober 1960, Wayang Wahyu mendapat kesempatan
tampil di depan uskup agung Mgr. Albertus Soegijapranata. Wayang Wahyu rekaan
Timotheus dan timnya mendapat apresiasi positif dari Soegijapranata.
Soegijapranata memberi saran-saran supaya Wayang Wahyu
menjadi lebih baik. Wayangnya semula sederhana, terbuat dari karton atau
kardus, lalu disempurnakan dan mulai berbahan kulit.
Lakon yang dipentaskan juga bertambah yaitu Dawud-Goliat
dan Sang Kristus dan Gereja Katholik. Dari sisi pementasan, satu lakon
memiliki durasi tak lebih dari tiga jam, tentu tidak mengabaikan seni
pedalangan dan karawitan.
Wayang Wahyu kerap digelar pada hari-hari besar
Kristiani seperti Natal dan Paskah. Selain itu peresmian dan atau ulang tahu
gereja. Wayang Wahyu
yang notabene milik
Katolik, akhirnya menginspirasi terbentuknya Wayang Warta (Wayang Kristen), sekitar 1970.
Jauh
sebelum Islam masuk, wayang pun sudah digunakan sebagai media efektif menyebarkan
Agama Hindu di Nusantara.
Diperkirakan seni pertunjukan wayang
ini dibawa masuk
oleh pedagang India, lalu menyesuaikan diri dengan kebudayaan lokal
yang sudah ada.
Ketika itu seni pertunjukan wayang menggunakan
cerita Ramayana dan Mahabrata.
Jelas
sudah wayang sejak dulu dan kini masih tetap digunakan untuk men-syiarkan
ajaran agama apapun. Bedanya, kalau dulu dakwahnya terasa lebih ringan dan agak
tertutup, belakangan ini semakin terbuka dengan kemasanan yang jauh lebih
kreatif dan inovatif.
Kalau
dulu dalangnya mengajak penontonnya agar memeluk Islam, kini lebih mempertajam
keimanan penontonnya yang sudah muslim lewat zikir sebagaimana dilakukan
Wayang Ajen dalam pementasannya di Semarak Wayang Pesona Indonesia 2016 tadi
malam.
Naskah&
foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar