Sabtu, 26 Maret 2016

Wayang (Masih) Ampuh Sebagai Media Dakwah


"Islam harus diajarkan dengan menggunakan alat kesenian yang ada, dan harus sedikit demi sedikit," begitu petuah yang disampaikan Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo di Tanah Jawa yang menyebarkan ajaran Agama Islam lewat media wayang, tempo dulu.


Ketika itu wayang sebagai media dakwah masih sebatas menyampaikan syariat, agar orang tahu apa itu Islam kemudian membaca syahadat atau kalimah thasyibah dengan mengamalkan sebagian ajaran Islam saja.


Belum sampai kepada pengamalan thariqat yakni menjalani rukun iman yang enak dan mengamalkan rukun Islam yang lima itu. Apalagi sampai ke tahap ma’rifat yaitu mencapai hakikat lewat jalan thariqat dengan segala keimanan sebagaimana pendapat Prof T. Tohir Abdul Muin dalam Kitab Pengantar Ilmu Kalam.


Pada masa Wali Sembilan di Jawa, wayang dibagi menjadi tiga yakni Wayang Kulit di Timur, Wayang Wong (orang) di Jawa Tengah, dan Wayang Golek di Jawa Barat.


"Carilah wayang di Jawa Barat, golek ono dalam Bahasa Jawi, sampai ketemu wong-nya isinya yang di tengah. Jangan hanya ketemu kulitnya saja di Timur di wetan wiwitan. Mencari jati diri itu di Barat atau Kulon atau Kula yang ada di dalam dada hati manusia,” begitu petuah Kalijaga dan Raden Patah yang berjasa besar meng-Islamkan masyarakat Jawa lewat wayang saat itu.


Maksud para wali tersebut wayang itu tulen dari Jawa asli, pakeliran itu artinya pasangan antara bayang bayang dan barang aslinya. Seperti dua kalimah syahadat.


Adapun Tuhan masyrik wal maghrib itu harus di terjemahkan ke dalam Bahasa Jawa dulu yang artinya wetan kawitan dan kulon atau kula atau saya yang ada di dalam. Carilah Tuhan yang kawitan pertama dan yang ada di dalam hati manusia.


Ketika pertunjukan wayang yang menampilkan “Tuhan” atau “Dewa” dalam wujud manusia dilarang, munculah boneka wayang yang terbuat dari kulit sapi, jadi yang ditonton bayangannya saja. Wayang inilah yang sekarang kita kenal sebagai wayang kulit.


Wayang sebagai media dakwah sudah lama berlangsung. Dari jaman Hindu kemudian masuknya Islam ke Indonesia hingga kini masih eksis digunakan untuk itu termasuk mensyiarkan Islam dan agama lainnya. Contoh wayang yang loyal memperkenalkan nilai-nilai Islam adalah Wayang Sadat, Wayang Santri, dan Wayang Ajen.


Wayang Sadat diciptakan  Suryadi Warnosuhardjo asal Desa Mireng, Kecamatan Trucuk, Klaten pada tahun 1985. Guru matematika di SPG Muhammadiyah Klaten ini sekaligus dalangnya.


Suryadi mengaku mendapat ide pembuatan wayang ini dari ayahnya, yang menyarankan umat Islam harus mempunyai wayang yang tidak berdasarkan cerita Hindu. Dia pun tergugah lalu mewujudkan ide itu dengan tekun belajar mendalang sejak SMA.


Wayang Sadat dibuat sebagai penyeimbangan terhadap perkembangan Islam yang disampaikan oleh para Wali dahulu yang masih dipengaruhi sinkretisme karena mas,uknya pengaruh kebudayaan Jawa, Hindu, dan Buddha dalam ajaran Agama Islam.


Suryadi bermaksud melanjutkan hakikat Islam yang terdapat dalam gubahan pakeliran Wayang Purwa pada masa Kerajaan Demak, yaitu cerita Jimat Kalimasada. Sedangkan, perkeliran pada masa perkembangan Wayang Beber, Wayang Madya, dan Wayang Gedog, tidak pernah menyinggung roh Islam, tetapi hanya cerita-cerita tentang raja-raja saja.


Kata “Sadat” sendiri  berasal dari kata syahadattain agar nafas Islam sebagai dakwah dalam pergelarannya terasa sekaligus ingin melanjutnya tradisi Sekatenan berupa pembacaan syahadat secara masal sebagaimana dilakukan pada masa Kerajaan Demak.


Sementara Wayang Ajen lahir dari proses kesadaran generasi muda pada Wayang Golek Sunda tradisi yang asli dengan eksplorasi kreatif.


Menurut Wawan Gunawan sang pendiri Wayang Ajen, wayang ini lahir dalam tafsir baru, membaca tradisi dengan cara-cara modern sehingga menjadi sesuatu yang berbeda.


Penciptaan kembali struktur pertunjukan Wayang Golek Sunda tradisi ini disesuaikan dengan format teater modern dengan pendekatan konsep dramaturgi.


Wayang Golek Ajen selanjutnya disebut Wayang Ajen diciptakan oleh Wawan Gunawan bersama Arthur S. Nalan pada tahun 1998, dan pertamakali tampil dengan lakon ”Kidung Kurusetra” pada tahun 1999 dalam acara Pekan Wayang Indonesia di TMII Jakarta.


Istilah "Ajen" diambil dari Bahasa Sunda yang artinya ngajenan. Ngajenan artinya menghargai atau sesuatu yang diberikan penghormatan atau penghargaan.


Secara filosofis dasar pemikiran Wayang Ajen ini di dasarkan dari adanya proses dialogis generasi muda pewaris aktif kesenian tradisional yang saling menghargai.


Generasi muda yang memiliki ajen seni tertentu pada tradisi, di mana tradisi dipandang sebagai suatu yang dinamis tidak statis, dan tradisi adalah sumber inspirasi,” kata Wawan sebelum tampil di event Semarak Wayang Pesona Indonesia 2016 yang digelar Kementerian Pariwisata (Kemenpar) sekaligus untuk mempromosikan branding PESONA INDONESIA di Parkir Timur Senayan, Jakarta, Sabtu (26/3) malam.


“Wayang Ajen itu juga sufi, berupaya mensyiarkan tasawuf, ajaran Islam yang lebih religius dengan pendekatan dzikrulloh kalimah tauhid Lailahaillallah melalui Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah atau TQN,” terang Wawan.


Sedangkan Wayang Santri yang lahir pada tahun 2006, dalam perjalanannya kini terus menjalankan misi membantu para kyai untuk menjabarkan ‘kawruh’ (pengetahuan) Agama Islam.


Ki Enthus Susmono sekaligus Bupati Tegal ketika itu mengakui awal lahirnya Wayang Santri ini bermula dari diperolehnya gelar dalang terbaik Jawa Tengah yang diteruskan dengan ajang Festival Wayang Internasional di Bali.


Kata "Santri" berasal dari Bahasa Sansakerta, sastri yang mempunyai ciri tiga hubungan. Pertama, Hablum Min Allah atau hubungan dengan Allah. Kedua, Hablum Min Annas atau hubungan dengan manusia, dan ketiga Hablum Alal Alamin atau hubungan dengan alam.


Kader PKB ini kerap  mementaskan cerita-cerita lucu yang sering terjadi di kehidupan sehari-hari warga NU dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Sesekali ia menyindir atau mengingatkan pejabat di negeri ini yang tidakamanah dalam menjalankan tugasnya dengan baik.


Dia pun kerap  menyelipkan lawakan cerdas dalam cerita yang dikemas kekinian dan penuh kritikan. Salah satu wayangnya bahkan sempat muncul Presiden Jokowi-JK, SBY bahkan Barrack Obama.


Wayang Santri bagi sebagian warga yang bermukim di areal Pantura Tegal, pasti tak asing lagi dengan penampilan sosok dalang asal Desa Bengle Kecamatan Talang Kabupaten Tegal ini.


Durasi Wayang Santri tidak digelar semalam suntuk. Paling lama butuh waktu dua setengah jam dan paling cepat satu jam saja. Jumlah pengrawit pun tidak terlalu banyak sekitar sembilan pengrawit, total sepuluh dengan sang dalanga. Di setiap pementasan Wayang Santri yang selalu dijejali peminatnya.


Nah, ketika misionaris Katolik, Bruder Timotheus L. Wignyosubroto, FIC pada tahun 1960 dalam misinya menyebarkan agama Katolik, ia mengembangkan Wayang Katolik, yang sumber ceritanya berasal dari Alkitab. Namun, atas saran PC Soetopranito SJ, namanya diganti menjadi Wayang Wahyu sampai sekarang.


Pementasan pertama Wayang Wahyu pada 2 Februari 1960 di gedung Sekolah Kejuruan Kepandaian Puteri Purbayan Solo. Pementasan ini menampilkan serangkaian lakon Malaikat Mbalela, Manusia Pertama Jatuh dalam Dosa, dan Kelahiran Tuhan Yesus Kristus. Wayang ini mulanya disebut Wayang Katolik.


Pada 17 Oktober 1960, Wayang Wahyu mendapat kesempatan tampil di depan uskup agung Mgr. Albertus Soegijapranata. Wayang Wahyu rekaan Timotheus dan timnya mendapat apresiasi positif dari Soegijapranata.


Soegijapranata memberi saran-saran supaya Wayang Wahyu menjadi lebih baik. Wayangnya semula sederhana, terbuat dari karton atau kardus, lalu disempurnakan dan mulai berbahan kulit.


Lakon yang dipentaskan juga bertambah yaitu Dawud-Goliat dan Sang Kristus dan Gereja Katholik. Dari sisi pementasan, satu lakon memiliki durasi tak lebih dari tiga jam, tentu tidak mengabaikan seni pedalangan dan karawitan.


Wayang Wahyu kerap digelar pada hari-hari besar Kristiani seperti Natal dan Paskah. Selain itu peresmian dan atau ulang tahu gereja.  Wayang Wahyu yang notabene milik Katolik, akhirnya menginspirasi terbentuknya Wayang Warta (Wayang Kristen), sekitar 1970.


Jauh sebelum Islam masuk, wayang pun sudah digunakan sebagai media efektif menyebarkan Agama Hindu di Nusantara.


Diperkirakan seni pertunjukan wayang ini dibawa masuk oleh pedagang India, lalu menyesuaikan diri dengan kebudayaan lokal yang sudah ada. Ketika itu seni pertunjukan wayang menggunakan cerita  Ramayana dan Mahabrata.


Jelas sudah wayang sejak dulu dan kini masih tetap digunakan untuk men-syiarkan ajaran agama apapun. Bedanya, kalau dulu dakwahnya terasa lebih ringan dan agak tertutup, belakangan ini semakin terbuka dengan kemasanan yang jauh lebih kreatif dan inovatif.


Kalau dulu dalangnya mengajak penontonnya agar memeluk Islam, kini lebih mempertajam keimanan penontonnya yang sudah muslim lewat zikir sebagaimana dilakukan Wayang Ajen dalam pementasannya di Semarak Wayang Pesona Indonesia 2016 tadi malam.


Naskah& foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar