Senin, 11 April 2016

400 Angklung Semarakkan Festival Gebyar Pesona Wisata Gunung Galunggung 2016


Hari kedua penyelenggaran Festival Gebyar Pesona Wisata Gunung Galunggung 2016 di Lapangan Cipanas Sukaratu, Kabupaten Tasikmalaya, Minggu (10/4) dimeriahkan dengan penampilan Gema Angklung Saung Mang Udjo. Sebanyak 400 angklung dimainkan serentak oleh para tamu undangan, anggota pramuka, dan masyarakat serta wisatawan yang hadir. Bahkan banyak yang tidak kebagian.



Wati (17) dan rekan-rekannya sesama anggota pramuka terlihat serius memainkan angklung berukuran kecil. Sambil berdiri di Lapangan Cipanas sebelah kanan, dia mengikuti gerakan yang dikomandani Sam Udjo selaku dirijen yang membawakan lagu Sunda tersohor berjudul Manu Dadali.



“…Manuk Dadali, manuk panggagahna. Perlambang sakti Indonesia Jaya. Manuk dadali pangkokan carana. Resep ngahiji rukun sakabehna..,” begitu sepenggal lirik lagu tersebut yang dibawakan secara instrumental dengan mengunakan angklung, alat musik tradisional khas masyarakat Sunda, Jawa Barat yang terbuat dari bambu.



Di deretan tamu undangan yang duduk di kursi di bawah tenda panggung pun sama terlihat serius memainkan angklung. Sementara Sam Udjo, anak kedua dari Mang Udjo sang maestro angklung yang mendirikan Saung Mang Udjo, berdiri di panggung sisi utara menghadap ke deretan anggota pramuka dan tamu undangan.



Sedangkan para pemain musik angklung yang terdiri atas Ajay (17) pada kolintang, Ricky (21) angklung, Iman (21) gendang, Wahyu (20) angklung, dan Yana (22) pemain bass tampil di panggung utama. Mereka kecuali pemain gendang, kompak mengenakan pakaian seragam putih bertuliskan Udjo di belakang seragamnya.


Selain Manuk Dadali, ada 3 lagu lagi yang mereka bawakan yakni lagu anak-anak berjudul Ambilkan Bulanku yang kemudian dipopulerkan oleh Sheila on 7, lagu nasional berjudul Ibu Kita kartini, dan lagu pop karya musisi Ahmad Dhani berjudul Munajab Cinta.


Semua lagu itu serempak dimainkan masyarakat yang hadir di festival yang diselenggarakan Pemkab Tasikmalaya dan didukung Kementerian Pariwisata (Kemenpar) ini.



Tak sampai 30 menit, penampilan Saung Mang Udjo berhasil membuat suasana festival tahunan ini menjadi lebih semarak.



“Kami sengaja membawakan lagu-lagu yang sudah terkenal dengan genre yang berbeda-beda agar mudah diikuti masyarakat yang kebagian memainkan angklung,” ujar Yana selepas tampil.



Menurut mahasiswa semester 4 jurusan musik bambu di Insitut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung ini, lagu-lagu yang mereka bawakan itu ditampilkan secara band agar memberi nuansa kekinian sehingga generasi muda tertarik memainkan angklung. “Ini cara saung Mang Udjo mendekatkan angklung dengan anak muda, agar tidak dianggap ketinggalan zaman,” ujarnya.


Yana dan rekan-rekannya mengaku baru pertama kali  tampil di festival ini. “Saya pribadi senang dan bangga  bisa mengisi acara festival ini, karena ternyata antusias masyarakat di sini memainkan angklung cukup tinggi. Mudah-mudah dengan cara ini mereka khususnya generasi muda disini jadi mau belajar musik angklung lebih serius,” ujarnya.



Menurut Yana yang belajar angklung sejak kelas 1 SD atau saat dia berusia 6 tahun di Saung Mang Udjo Bandung ini, berkat ketekunannya belajar musik angklung, dia dan rekan-rekannya sudah tampil bermain angklung di sejumlah kota dan daerah di Indonesia bahkan pernah di sejumlah negara antara lain Belanda, China, Ukraina, dan  baru-baru ini, tepatnya 27 Maret 2016 bersama Dinas Kebudayaan Provinsi Jawa Barat tampil di negeri sakura, Jepang.


Kata Yana, awalnya bermain agklung hanya hobi, kini sudah menjadi profesi yang mendatangkan penghasilan cukup lumayan. “Dalam sebulan honor yang saya terima dari tampil berbagai tempat, bisa Rp 1 juta lebih. Lumayanlah jadi hobi yang dibayar,” akunya.


Sam Udjo menambahkan ada sekitar 500 murid yang belajar musik angklung di saung yang dikelolanya bersama adik-adiknya, antara lain Taufik Hidayat.



Dari ratusan murid itu, ada beberapa kelompok musik angklung yang sudah berprestasi dan tampil diberbagai acara, salah satunya grup angklung yang anggotanya Yana ini. Selain itu ada juga kelompok musik angklung yang anggotanya semua perempuan.



Sam Udjo memuji penyeleggara  festival ini yang sudah memberi kesempatan Saung Mang Udjo tampil, meskipun  400 angklung yang dibawanya tidak dibeli hanya dipinjamkan kepada masyarakat dan pengunjung festival ini.



“Sebenarnya bisa saja angklung-angklung ini dibawa atau diberikan kepada pengunjung atau masyarakat. Tapi sebelumnya penyenggara harus membeli dan memesannya terlebih dulu,” jelasnya.


Sam berharap di Festival Gebyar Pesona Wisata Gunung Galunggung tahun berikutnya, juga ditampilkan alat musik khas Sunda lain seperti Karinding, Celempung, Kecapi Suling, dan Angklung Sered dari Kecamatan  Mangunredja, Kabupaten Tasikmalaya yang belakangan ini tak terdengar lagi namanya serta Kariwitan Sunda.



Kalau tidak salah, lanjut Sam, Angklung Sered mempunyai kekhasan tersendiri, terutama yang berada di Kampung Balandongan, Desa Sukaluyu, Kecamatan Mangunredja ini.


Angklung yang satu ini hanya dimainkan secara bersamaan sekitar 20 orang pemain tanpa berupa lagu.

Dua orang pemain akan mulai melakukan tanding. Keduanya menunjukan ilmu beladiri sambil tetap memainkan angklung hingga salah seorang diantaranya terkapar kehabisan tenaga. Permainan angklung dalam balutan beladiri ini berakhir menjelang adzan magrib berkumandang.



Sam juga menghimbau agar pihak terkait di Kabupaten Tasikmalaya dapat membuat komunitas pencinta angklung atau bahkan sekolah musik angklung, mengingat minat anak muda di daerah ini terlihat cukup tinggi, ditambah ketersediaan pohon bambu sebagai bahan baku utama angklung yang masih melimpah.


Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar