Empat laki-laki asli orang Mentawai menarik perhatian sejumlah
tamu acara launcing Festival Pesona Mentawai (FPM) 2016 saat tampil di panggung Balairung Soesilo
Sudarman, Gedung Kementerian Pariwisata (Kemenpar), Jakarta, Selasa (5/4) mlam.
“Ya
ampun ke empat penari itu nyaris telanjang,” kata seorang penonton perempuan
kepada temannya sesama perempuan.
Keempat
penari itu terdiri atas 2 penari dewasa bernama Amanlepong (35) dan adiknya Amangodai (26) dan dua penari
tua yakni Amanlala (67) yang merupakan ayah dari Amanlepong dan
Amangodai, serta seorang rekan Amanlala yang juga berusia 67 tahun yakni Amanlaulau.
Ketiga
penari ayah dan kedua anaknya yang sudah menikah dan masing-masing juga sudah
memiliki anak ini berasal dari Dusun Buttui, Desa Madobag, Kecamatan Sibereut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera
Barat (Sumbar). Sementara satu lagi penari tua dari Desa Muntei, begitupun dengan salah seorang
pemain gendangnya, Palentinus Sameme (36).
“Gendang ini terbuat dari batang pohon
Ruyung sepanjang satu meter yang sudah diukir dan dikeringkan agar suaranya
nyaring. Kulit gendangnya dari kulit ular sawah atau ular piton, dan ada juga yang dari kulit biawak,” ujar Palentinus.
Keempat penarinya memang tak mengenakan baju dan celana, hanya memakai
kabit (cawat), penutup bagian depan organ
vitalnya dengan lembaran kulit, dan manai (bunga-bunga) serta dedaunan tanaman surak atau sejenis
puring sebagai asesoris yang
ditempatkan di lengan dan kaki. Juga tak ketinggalan ikat kepala
(luat), kalung (inu), dan gelang (raksok) dari manik-manik.
Mereka
tampil di atas panggung menarikan Turu' Manyang dan Bilou atau Tari Elang dan Monyet yang diiringi 3 pemain musik selama 10 menit.
Mereka
meliuk-liukkan badan dan menghentak-hentakan kaki dengan gerakan yang cepat, mengikuti irama gendang
(gajeumak) yang juga cepat. Gaya mereka menirukan tingkah laku burung elang dan monyet.
Dalam tarian ini
memang dibutuhkan kelihaian dalam merentakkan kaki yang sesuai dengan bunyi
gendang dan juga menirukan gerakan yang
ditarikan.
Menurut
Amanlala Turu' Manyang dan Bilou ini
menceritakan tentang 2 ekor burung elang yang tengah terbang melayang-layang di udara mencari ikan. Namunbtidak berhasil kemudian hinggap di pohon tempat dimana ada 2 ekor monyet yang tengah mencari buah.
“Intinya kedua tarian ini
melambangkan semangat hidup
orang Mentawai dalam mencari rezeki
dan kebutuhan makan sehari-hari. Tarian ini biasa ditarikan saat pesta bikin rumah baru, acara hiburan, usai berburu, dan pesta perkawinan,” ujar Amanlala.
Gerakan hewan yang mereka tirukan itu memang hewan yang sering mereka lihat di daerahnya di Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Kendati masyarakat Mentawai menjadikan binatang-binatang itu sebagai santapan, mereka juga tetap menjaga pertumbuhan dan kelestarian sehingga populasinya tetap terjaga.
Ketika
ingin berburu monyet, mereka tidak sembarangan memburunya dengan panah. Sebelumnya mereka harus melakukan ritual berdasarkan kepercayaan yang diwariskan oleh nenek moyang mereka yaitu Adat Sabulungan
atau kepercayaan kepada roh-roh gaib.
Umumnya
tarian khas orang Mentawai menceritakan rutinitas keseharian mereka
yang selalu berkaitan dengan alam, lingkungan tempat mereka tinggal,
dan memiliki kearifan lokal dalam menjaga lingkungannya.
Tari
elang dan monyet merupakan dua jenis dari sekian banyak Turu’ Punen (tarian
pesta atau yang menyimbolkan kegembiraan). Turu’ atau tari ini dilakukan saat ada
warga yang berhasil mendapat hewan buruan seperti rusa, babi hutan, penyu,
dan monyet.
Turu’ ini juga bisa dilakukan saat pelantikan sikerei (dukun) yang baru, peresmian rumah
yang baru, dan juga sebagai hiburan.
Turu’ini banyak jenisnya, semua binatang bisa ditirukan namun umumnya turu' hiburan ini ada tiga bentuk gerakannya yaini
Turu
Bilou (tari monyet), Turu’ Manyang
(Tari Elang), dan Turu’ Gougouk
(Tari Ayam).
Dalam
dalam tarian adat tersebut tidak ada gerakan yang teratur
semuanya bisa melakukan gerakan sesuai gerakan binatang yang ditirukan.
Penari tim pertama tidak akan
sama gerakannya dengan penari lainnya meski tema atau judul tariannya sama.
Menurut
Amanlala, mereka sudah 4 kali tampil Jakarta pertama di TMII, Hotel Aliya, Ancol, dan
terakhir di Kemenpar saat acara launching FPM 2016. “Sebelumnya saya juga pernah
dibawa disparbudpora Mentawai ke Bali, Roma Italia, dan beberapa negara Eropa,”
akunya.
Jenis
tarian adat Mentawai lainnya adalah Turu’ Puliaijat (tarian ritual pengobatan).
Tarian ini dilarang (kei-kei) ditampilkan dalam saat pesta, mengingat melibatkan roh-roh halus saat melakukan pengobatan
sehingga sering terjadi kesurupan bahkan perkelahian sengit mengusir roh jahat
(sanitu/kina) yang diangap telah memberikan penyakit kepada masyarakat.
Oleh karena itu tarian ini tidak bisa ditampilkan untuk acara festival budaya atau pesta adat.
Oleh karena itu tarian ini tidak bisa ditampilkan untuk acara festival budaya atau pesta adat.
Dalam
tarian ini banyak
roh halus yang memasuki tubuh para sikerei yang menuntun mereka mengetahui sebab penyakit dan penunjukkan
obatnya kepada pasien.
Usai
mengusir roh
jahat barulah para sikerei menunjukkan jenis obat yang tepat untuk
mengobati pasiennya. Bisa juga lewat mimpi dukun tersebut.
Obat itu tidak ada di apotik atau toko obat, melainkan harus dicari di hutan berupa akar-akaran dan dedaunan tertentu.
Obat itu tidak ada di apotik atau toko obat, melainkan harus dicari di hutan berupa akar-akaran dan dedaunan tertentu.
Turu’
Punen dan Turu’ Puliaijat merupakan 2 macam Turu’ Langgai yakni sama-sama tarian adat yang menyimbolkan
binatang yang ada di lingkungan mereka tempati.
Selain
Turu’ Laggai Mayang (Tari Elang) dan Turu’ Langgai Bilou (Tari Monyet) juga ada
tarian lainnya antara lain Turu' Pok-pok (Tari Bertepuk), Turu' Muabak (Tari
Bersampan), Turu' Goukgouk (Tari Ayam), Turu' Lago-lago (Tari Kupu-kupu), Turu'
Mumone (Tari ke Ladang), dan Turu' Pik – Pik (Tari Burung Pipit).
Tari-tarian
bersifat hiburan punen/pesta di atas merupakan salah satu dari lima wisata seni
budaya yang bisa dilihat dan dilakukan di Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Namun untuk melihat tari-tariannya, kini hanya tersisa di Pulau Siberut. Sementara di Pulau Spora dan Sekakap sudah tidak dapat lagi dijumpai.
Disamping
itu bisa melihat ritual pada saat tertentu dalam bentuk pemanggilan roh-roh
seperti untuk pengobatan, punen dan sebagainnya, juga melihat proses memahat
gigi yang biasanya dilakukan saat seorang pria atau wanita beranjak dewasa.
Kegiatan
wisata lainnya ikut berburu satwa liar di
hutan dengan menggunakan alat berburu berupa panah.
Terakhir melihat pembuatan tato yang diberikan sebagai identitas tingkat jabatan, asal daerah dan kesukuan.
Terakhir melihat pembuatan tato yang diberikan sebagai identitas tingkat jabatan, asal daerah dan kesukuan.
Aktraksi pembuatan tato juga
merupakan wisata budaya yang dapat dinikmati di desa pedalaman, seperti Desa
Matotonan dan Desa Madobak di Kecamatan Siberut
Selatan), Desa Taileleu di Kecamatan Siberut Barat Daya.
Konon,
seni tato
masyarakat Mentawai merupakan salah satu seni tato tertua di dunia. Jenis tatonya ada 160-an.
Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar