Rabu, 06 April 2016

Turu' Mayang dan Bilou Meriahkan Launching Festival Pesona Mentawai 2016


Empat  laki-laki asli orang Mentawai menarik perhatian sejumlah tamu  acara launcing Festival Pesona Mentawai (FPM) 2016 saat tampil di panggung Balairung Soesilo Sudarman, Gedung Kementerian Pariwisata (Kemenpar), Jakarta, Selasa (5/4) mlam.


“Ya ampun ke empat penari itu nyaris telanjang,” kata seorang penonton perempuan kepada temannya sesama perempuan.


Keempat penari itu terdiri atas 2 penari dewasa bernama Amanlepong (35) dan adiknya Amangodai (26) dan dua penari tua yakni Amanlala  (67) yang merupakan ayah dari Amanlepong dan Amangodai, serta seorang rekan Amanlala yang juga berusia 67 tahun yakni Amanlaulau.


Ketiga penari ayah dan kedua anaknya yang sudah menikah dan masing-masing juga sudah memiliki anak ini berasal dari Dusun Buttui, Desa Madobag, Kecamatan Sibereut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat (Sumbar). Sementara satu lagi penari tua dari  Desa Muntei, begitupun dengan salah seorang pemain gendangnya, Palentinus Sameme (36).


Gendang ini  terbuat dari batang pohon Ruyung sepanjang satu meter yang sudah diukir dan dikeringkan agar suaranya nyaring. Kulit gendangnya dari kulit ular sawah atau ular piton, dan ada juga yang dari kulit biawak,” ujar Palentinus.


Keempat penarinya memang tak mengenakan baju dan celana, hanya  memakai kabit (cawat), penutup bagian depan organ vitalnya dengan lembaran kulit, dan   manai (bunga-bunga) serta dedaunan tanaman surak atau sejenis puring sebagai asesoris  yang ditempatkan di lengan dan kaki. Juga tak ketinggalan ikat kepala (luat), kalung (inu), dan gelang (raksok) dari manik-manik.


Mereka tampil di atas panggung menarikan Turu' Manyang dan Bilou  atau Tari Elang dan Monyet yang diiringi 3 pemain musik selama 10 menit.


Mereka meliuk-liukkan badan dan menghentak-hentakan kaki dengan gerakan yang cepat, mengikuti irama gendang (gajeumak) yang juga cepat. Gaya mereka menirukan tingkah laku burung elang dan monyet.


Dalam tarian ini  memang dibutuhkan kelihaian dalam merentakkan kaki yang sesuai dengan bunyi gendang dan juga menirukan gerakan yang ditarikan.


Menurut Amanlala Turu' Manyang dan Bilou  ini menceritakan tentang 2 ekor burung elang yang tengah terbang melayang-layang di udara mencari ikan. Namunbtidak berhasil kemudian hinggap di pohon tempat dimana ada 2 ekor monyet yang tengah mencari buah.



“Intinya kedua tarian ini melambangkan semangat hidup orang Mentawai dalam mencari rezeki dan kebutuhan makan sehari-hari. Tarian ini biasa ditarikan saat pesta bikin rumah baru, acara hiburan, usai berburu, dan pesta perkawinan,” ujar Amanlala.


Gerakan hewan yang mereka tirukan itu memang hewan yang sering mereka lihat di daerahnya di Kabupaten Kepulauan Mentawai. 

Kendati masyarakat Mentawai menjadikan binatang-binatang itu sebagai santapan, mereka juga tetap menjaga pertumbuhan dan kelestarian sehingga populasinya tetap terjaga.



Ketika ingin berburu monyet, mereka tidak sembarangan memburunya dengan panah. Sebelumnya mereka harus melakukan ritual  berdasarkan kepercayaan yang diwariskan oleh nenek moyang mereka yaitu Adat Sabulungan atau kepercayaan kepada roh-roh gaib.



Umumnya tarian khas orang Mentawai menceritakan rutinitas keseharian mereka yang selalu berkaitan dengan alam, lingkungan tempat mereka tinggal, dan memiliki kearifan lokal dalam menjaga lingkungannya.



Tari elang dan monyet merupakan dua jenis dari sekian banyak Turu’ Punen (tarian pesta  atau yang menyimbolkan kegembiraan). Turu’ atau tari ini dilakukan saat ada warga yang berhasil mendapat hewan buruan seperti rusa, babi hutan, penyu, dan monyet.



Turu ini juga bisa dilakukan saat pelantikan sikerei (dukun) yang baru, peresmian rumah yang baru, dan juga sebagai hiburan.



Turuini banyak jenisnya, semua binatang bisa ditirukan namun umumnya turu' hiburan ini ada tiga bentuk gerakannya yaini  Turu Bilou (tari monyet), Turu Manyang (Tari Elang), dan Turu Gougouk (Tari Ayam).



Dalam dalam tarian adat tersebut tidak ada gerakan yang teratur semuanya bisa melakukan gerakan sesuai gerakan binatang yang ditirukan.



Penari tim pertama tidak akan sama gerakannya dengan penari lainnya meski tema atau judul tariannya sama.



Menurut Amanlala, mereka sudah 4 kali tampil Jakarta pertama di TMII, Hotel Aliya, Ancol, dan terakhir di Kemenpar saat acara launching FPM 2016. “Sebelumnya saya juga pernah dibawa disparbudpora Mentawai ke Bali, Roma Italia, dan beberapa negara Eropa,” akunya.


Jenis tarian adat Mentawai lainnya adalah Turu’ Puliaijat (tarian ritual pengobatan). 


Tarian ini dilarang (kei-kei) ditampilkan dalam saat pesta, mengingat melibatkan roh-roh halus saat melakukan pengobatan sehingga sering terjadi kesurupan  bahkan perkelahian sengit mengusir roh jahat (sanitu/kina) yang diangap telah memberikan penyakit kepada masyarakat. 

Oleh karena itu tarian ini tidak bisa ditampilkan untuk acara festival budaya atau pesta adat.


Dalam tarian ini banyak roh halus yang memasuki tubuh para sikerei yang menuntun mereka mengetahui sebab penyakit dan penunjukkan obatnya kepada pasien.


Usai mengusir roh jahat barulah para sikerei menunjukkan jenis obat yang tepat untuk mengobati pasiennya. Bisa juga lewat mimpi dukun tersebut. 

Obat itu tidak ada di apotik atau toko obat, melainkan harus dicari di hutan berupa akar-akaran dan dedaunan tertentu.


Turu’ Punen dan Turu’ Puliaijat merupakan 2 macam Turu’ Langgai  yakni sama-sama tarian adat yang menyimbolkan binatang yang ada di lingkungan mereka tempati.


Selain Turu’ Laggai Mayang (Tari Elang) dan Turu’ Langgai Bilou (Tari Monyet) juga ada tarian lainnya antara lain Turu' Pok-pok (Tari Bertepuk), Turu' Muabak (Tari Bersampan), Turu' Goukgouk (Tari Ayam), Turu' Lago-lago (Tari Kupu-kupu), Turu' Mumone (Tari ke Ladang), dan Turu' Pik – Pik (Tari Burung Pipit).


Tari-tarian bersifat hiburan punen/pesta di atas merupakan salah satu dari lima wisata seni budaya yang bisa dilihat dan dilakukan di Kabupaten Kepulauan Mentawai.


Namun untuk melihat tari-tariannya, kini hanya tersisa di Pulau Siberut. Sementara di Pulau Spora dan Sekakap sudah tidak dapat lagi dijumpai.


Disamping itu bisa melihat ritual pada saat tertentu dalam bentuk pemanggilan roh-roh seperti untuk pengobatan, punen dan sebagainnya, juga melihat proses memahat gigi yang biasanya dilakukan saat seorang pria atau wanita beranjak dewasa.


Kegiatan wisata lainnya ikut berburu satwa liar di hutan dengan menggunakan alat berburu berupa panah.

Terakhir melihat pembuatan  tato yang diberikan sebagai identitas tingkat jabatan, asal daerah dan kesukuan.


Aktraksi pembuatan tato juga merupakan wisata budaya yang dapat dinikmati di desa pedalaman, seperti Desa Matotonan dan Desa Madobak di Kecamatan Siberut Selatan), Desa Taileleu di Kecamatan Siberut Barat Daya.


Konon, seni tato masyarakat Mentawai merupakan salah satu seni tato tertua di dunia. Jenis tatonya ada 160-an.


Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar