Tradisi budaya lokal di
sejumlah daerah di Indonesia termasuk di Aceh Besar mengalami kepudaran. Kalau
tidak diantisipasi, dibenahi, diperkenalkan, digelorakan, dan dipakai dalam kehidupan
sehari-hari, dikhawatirkan akan semakin tergeserkan dan terlupakan.
Begitu kata dosen
Antropologi FISIP Universitas
Sumatera Utara (USU) Drs Medan Zulkifli
Lubis M.Si usai menyampaikan makalah diskusi
tradisi dalam kegiatan Jejak Tradisi Daerah (Jetrada) 2016 di Hotel Hijtah,
Lambaro, Aceh Besar, Provinsi Aceh, Rabu (13/4).
Sedikitnya ada enam (6) kiat untuk menghidupkan kembali
tradisi budaya lokal di kalangan generasi muda Aceh Besar. Menurut Zullkifli
menghidupkan tradisi budaya lokal itu bukan berarti harus kembali kepada kekunoan, melainkan
mengambil saripatinya untuk diterapkan dalam kehidupan masa kini.
Kiat pertama supaya
generasi muda era sekarang menyukai atau
mau memakai tradisi budaya lokal, dengan cara mengemas tradisi ini sedemikian
rupa dengan kemajuan teknologi masi kini, dengan kata lain dituangkan dalam
media yang berteknologi kekinian.
“Misalnya kalau ingin
memperkenalkan produk budaya lokal berupa rumah tradisional, antara lain dengan
menampilkan arsitekturnya berupa desain grafis lalu dituangkan lewat internet
sehingga anak muda sekarang lebih tertarik,” imbuh Zulkifli.
Dengan kata lain menggunakan
bahasa anak muda sekarang yakni dengan bahasa teknologi informasi, agar mudah
dipahami, tidak terkesan kuno, dan tidak berjarak. “Jangan diajak berpakaian
tradisional dan berprilaku langsung seperti orang dulu secara, itu justru jadi
aneh buat mereka,” ujar Zulkifli lagi.
Kiat kedua, perlunya
kegiatan seperti Jejak Tradisi Daerah (Jetrada) seperti ini untuk
memperkenalkan tradisi budaya lokal ke generasi muda yang dirangkai dengan
diskusi, workshop, dan kunjungan langsung ke mayarakat adat atau kelompok
masyarakat yang masih memakai tradisi budya lokal turun-temurun.
“Kegiatan atau forum seperti
ini penting sebagai salah satu cara memperkenalkan tradisi budaya lokal itu, dengan catatan kemasannya
juga harus disesuikan dengan kondisi atau minat anak muda sekarang,” terangnya.
Kiat selanjutnya atau
ketiga, para tokoh adat, budayawan, dan atau seniman semestinya menyampaikan saripati atau
nilai-nilai budaya dari tradisi maupun produk budaya lokal seperti tarian, kesenian
tradisional, upacara adat dan lainnya setiap kali ditampilkan atau disuguhkan.
“Misalmya saat
menampilkan Tarian Saman, dijelaskan nilai-nilai budaya dalam tarian tersebut yang
menunjukkan bahwa orang Aceh itu dinamis
dan sebagainya. Jadi bukan sekadar tampikan sebagai sebuah tarian yang hanya
indah dilihat,” jelas Zulkifi.
Kiat keempat menurut pria
yang tengah melanjukan S3-nya di Universitas Indonesia (UI) ini, sebaiknya memperkenalkan
tradisi budaya lokal sejak anak-anak masih berusia dini. Kalau dilihat dari
jenjang pendidikan bisa dimulai dari Tingkat Kanak-Kanak dan seterusnya ke
tingkat pendidikan yang lebih tinggi dengan kemasan yang tentu berbeda,
disesuaikan dengan umur.
Menurut Zulkifli
pemberlakukan homogenisasi pada era orde baru, yang menabukan masyarakat
Indonesia menonjolkan karakter daerahnya,
merupakan proses penjauhan orang dari tradisinya.
“Alhasil banyak keluarga di
Tanah Air yang tidak percaya diri memperlihatkan karakter kedaerahannya,
misalnya tidak PeDe (percaya ciri) sebagai orang Aceh, orang Minang, sebagai orang
Batak dan lainnya. Kalau ada yang berani, orang lain akan melihat itu sebagai
sikap egosentrisme,” terangnya.
Kiat berikutnya atau
kelima, memberikan penghargaan terhadap eksistensi setiap kelompok budaya aytau
kelompok masyarakat yang masih eksisi mempertahankan tradisi budaya lokal.
Caranya dengan mendorong sekuat-kuatnya agar mereka terus melestarikan tradisi
budaya lakalnya.
“Upaya ini bukan untuk
membuat mereka ekslusif, melainkan untuk menyemangati mereka supaya terus
meletarikannya,” terangnya.
Kata Zulkifli, era
sekarang ini kita hidup di era multikulutral, bukan lagi yang pluralism yang
hanya sekadar tahu bahwa kita berbeda. Plurailme,
hanya sampai tataran di situ, tidak ada semacam penerimaan perbedaan itu. Sedangkan
tahap multikultusime, bukahan hanya tahu tapi ada rasa menghormati dan mau
menerima perbedaan, sekecil apapun perbedaan itu dengan suka lain.
“Sebagai contoh kalau ada
orang Aceh Tamiang bilang kami ini bukan orang Aceh seperti orang Aceh yang ada
di Aceh Besar misalnya, ya orang sini (Aceh Besar), jangan marah. Biarkan saja. Begitupun kalau
ada orang Gayo mengatakan kami bukan orang Aceh Besar tapi orang Gayo, ya itu
bukan masalah. Semua itu tidak akan mengurangi kehebatan Aceh,” terangnya.
Dengan penerimaan itu,
maka keleompok masyarakat itu akan
merasa nyaman dan percaya diri menunjukkan karakternya kepada orang atau suku lain, termasuk memperkenalkan dan menunjukkannya
kepada anak-anak dan generasi muda.
“Kalau orang tuanya
bangga dan PeDe, anak-anaknya juga akan ikut bangga melestarikan tradisi budaya
lokalnya,” aku Zulkifli.
Kiat terakhir atau keenam
versi Zulkifli, sebaiknya menonjolkan hal-hal yang positif dari karakter budaya
lokal. “Jangan sebaliknya menonjolkan imej atau karakter buruk, karena itu hanya
stereotype,” tambahnya.
Zulkifli optimis keenam
kiat di atas bisa menghidupkan kembali, paling tidak memperkenalan kembali
tradisi budaya lokal. “Saya optimis, paling tidak ini usaha yang harus
dilakukan. Tapi akan lebih bagus lagi bila
ada dorongan dari otoritas negara, dalam hal ini pemerintah,” terangnya.
Kata Zulkifli upaya menggelorakan kebudayaan daerah di sini
bukanlah upaya menyuburkan daerahisme melainkan dalam rangka menggelorakan semangat untuk menguatkan jatidirinya sebagai bangsa
Indonesia.
Jati diri Nasional itu,
lanjut Zulkifli bukan milik salah satu suku saja. “Kalau misalnya jati diri
Indonesia diambil dari Jawa, apa orang dari suku lain nyaman menyatakan ke-Indonesiannya
seperti itu? Belum tentu bukan,” pungkas Zulkifli.
JETRADA 2016 yang digelar Balai Pelestarian
Nilai Budaya (BPNB) Aceh dan didukung Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan
Olahraga (Disbudparpora) Kabupaten Aceh Besar berlangsung selama 4 hari sejak
13-16 April.
Kegiatan bertema “Menapaki Jejak Tradisi,
Membentuk Generasi Emas” ini diikuti 50 orang peserta yang terdiri atas 40 orang siswa-siswi
dari dua provinsi yakni Aceh dan Sumatera Utara dan 10 orang guru pendamping
dari kedua provinsi bertetangga tersebut.
Kepala BPNB Aceh Irini Dewi Wanti yang membuka kegiatan Jetrada 2016
menjelaskan selain diskusi tradisi yang menghadirkan beberapa narasumber
yang berkompeten di bidangnya, kegitan ini juhga diisi dengan kunjungan ke beberapa
objek tradisi yang ada di Kabupaten Aceh Besar antara lain
ke desa nelayan di Krueng Raya, desa perajin rencong di Baet
Sibreh, desa adat Lubuk Sukon, dan desa perajin makanan khas Aceh di
Empetrieng.
“Kegiatannya perpaduan antara belajar teoritis dan praktik mengenal
kebudayaan lebih dalam,” kata Rini.
JETRADA 2016, sambung Rini merupakan salah satu cara untuk memperkenalkan para peserta dengan tradisi
yang ada di Kabupaten Aceh Besar sekaligus memperkuat ikatan emosional mereka
dengan tradisi yang ada di sekitarnya.
Naskah & foto: adji kurniawan
(kembaratropis@yahoo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar