Sabtu, 16 April 2016

Enam Kiat Menghidupkan Tradisi Budaya Lokal di Kalangan Generasi Muda


Tradisi budaya lokal di sejumlah daerah di Indonesia termasuk di Aceh Besar mengalami kepudaran. Kalau tidak diantisipasi, dibenahi, diperkenalkan, digelorakan, dan dipakai dalam kehidupan sehari-hari, dikhawatirkan akan semakin tergeserkan dan terlupakan.

Begitu kata dosen Antropologi FISIP Universitas Sumatera Utara (USU) Drs Medan Zulkifli Lubis M.Si usai menyampaikan makalah diskusi tradisi dalam kegiatan Jejak Tradisi Daerah (Jetrada) 2016 di Hotel Hijtah, Lambaro, Aceh Besar, Provinsi Aceh, Rabu (13/4).

Sedikitnya ada enam (6) kiat untuk menghidupkan kembali tradisi budaya lokal di kalangan generasi muda Aceh Besar. Menurut Zullkifli menghidupkan tradisi budaya lokal itu bukan  berarti harus kembali kepada kekunoan, melainkan mengambil saripatinya untuk diterapkan dalam kehidupan masa kini.

Kiat pertama supaya generasi muda era sekarang menyukai  atau mau memakai tradisi budaya lokal, dengan cara mengemas tradisi ini sedemikian rupa dengan kemajuan teknologi masi kini, dengan kata lain dituangkan dalam media yang berteknologi kekinian.

“Misalnya kalau ingin memperkenalkan produk budaya lokal berupa rumah tradisional, antara lain dengan menampilkan arsitekturnya berupa desain grafis lalu dituangkan lewat internet sehingga anak muda sekarang lebih tertarik,” imbuh Zulkifli.

Dengan kata lain menggunakan bahasa anak muda sekarang yakni dengan bahasa teknologi informasi, agar mudah dipahami, tidak terkesan kuno, dan tidak berjarak. “Jangan diajak berpakaian tradisional dan berprilaku langsung seperti orang dulu secara, itu justru jadi aneh  buat mereka,” ujar Zulkifli lagi.

Kiat kedua, perlunya kegiatan seperti Jejak Tradisi Daerah (Jetrada) seperti ini untuk memperkenalkan tradisi budaya lokal ke generasi muda yang dirangkai dengan diskusi, workshop, dan kunjungan langsung ke mayarakat adat atau kelompok masyarakat yang masih memakai tradisi budya lokal turun-temurun.

“Kegiatan atau forum seperti ini penting sebagai salah satu cara memperkenalkan  tradisi  budaya lokal itu, dengan catatan kemasannya juga harus disesuikan dengan kondisi atau minat anak muda sekarang,” terangnya.

Kiat selanjutnya atau ketiga, para tokoh adat, budayawan, dan atau seniman  semestinya menyampaikan saripati atau nilai-nilai budaya dari tradisi maupun produk budaya lokal seperti tarian, kesenian tradisional, upacara adat dan lainnya setiap kali ditampilkan atau disuguhkan.

“Misalmya saat menampilkan Tarian Saman, dijelaskan nilai-nilai budaya dalam tarian tersebut yang menunjukkan  bahwa orang Aceh itu dinamis dan sebagainya. Jadi bukan sekadar tampikan sebagai sebuah tarian yang hanya indah dilihat,” jelas Zulkifi.

Kiat keempat menurut pria yang tengah melanjukan S3-nya di Universitas Indonesia (UI) ini, sebaiknya memperkenalkan tradisi budaya lokal sejak anak-anak masih berusia dini. Kalau dilihat dari jenjang pendidikan bisa dimulai dari Tingkat Kanak-Kanak dan seterusnya ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi dengan kemasan yang tentu berbeda, disesuaikan dengan umur.

Menurut Zulkifli pemberlakukan homogenisasi pada era orde baru, yang menabukan masyarakat Indonesia menonjolkan  karakter daerahnya, merupakan proses penjauhan orang dari tradisinya.

“Alhasil banyak keluarga di Tanah Air yang tidak percaya diri memperlihatkan karakter kedaerahannya, misalnya tidak PeDe (percaya ciri) sebagai orang Aceh, orang Minang, sebagai orang Batak dan lainnya. Kalau ada yang berani, orang lain akan melihat itu sebagai sikap egosentrisme,” terangnya.

Kiat berikutnya atau kelima, memberikan penghargaan terhadap eksistensi setiap kelompok budaya aytau kelompok masyarakat yang masih eksisi mempertahankan tradisi budaya lokal. Caranya dengan mendorong sekuat-kuatnya agar mereka terus melestarikan tradisi budaya lakalnya.

“Upaya ini bukan untuk membuat mereka ekslusif, melainkan untuk menyemangati mereka supaya terus meletarikannya,” terangnya.

Kata Zulkifli, era sekarang ini kita hidup di era multikulutral, bukan lagi yang pluralism yang hanya sekadar tahu bahwa  kita berbeda. Plurailme, hanya sampai tataran di situ, tidak ada semacam penerimaan perbedaan itu. Sedangkan tahap multikultusime, bukahan hanya tahu tapi ada rasa menghormati dan mau menerima perbedaan, sekecil apapun perbedaan itu dengan suka lain.

“Sebagai contoh kalau ada orang Aceh Tamiang bilang kami ini bukan orang Aceh seperti orang Aceh yang ada di Aceh Besar misalnya, ya orang sini (Aceh Besar),  jangan marah. Biarkan saja. Begitupun kalau ada orang Gayo mengatakan kami bukan orang Aceh Besar tapi orang Gayo, ya itu bukan masalah. Semua itu tidak akan mengurangi kehebatan Aceh,” terangnya.

Dengan penerimaan itu, maka  keleompok masyarakat itu akan merasa nyaman dan percaya diri menunjukkan karakternya kepada orang atau suku  lain, termasuk memperkenalkan dan menunjukkannya kepada anak-anak dan generasi muda.

“Kalau orang tuanya bangga dan PeDe,  anak-anaknya juga akan   ikut bangga melestarikan tradisi budaya lokalnya,” aku Zulkifli.

Kiat terakhir atau keenam versi Zulkifli, sebaiknya menonjolkan hal-hal yang positif dari karakter budaya lokal. “Jangan sebaliknya menonjolkan imej atau karakter buruk, karena itu hanya stereotype,” tambahnya.

Zulkifli optimis keenam kiat di atas bisa menghidupkan kembali, paling tidak memperkenalan kembali tradisi budaya lokal. “Saya optimis, paling tidak ini usaha yang harus dilakukan. Tapi  akan lebih bagus lagi bila ada dorongan dari otoritas negara, dalam hal ini pemerintah,” terangnya.

Kata Zulkifli upaya  menggelorakan kebudayaan daerah di sini bukanlah upaya menyuburkan daerahisme melainkan  dalam rangka menggelorakan semangat  untuk menguatkan jatidirinya sebagai bangsa Indonesia.

Jati diri Nasional itu, lanjut Zulkifli bukan milik salah satu suku saja. “Kalau misalnya jati diri Indonesia diambil dari Jawa, apa orang dari suku lain nyaman menyatakan ke-Indonesiannya seperti itu? Belum tentu bukan,” pungkas Zulkifli.

JETRADA 2016 yang digelar Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Aceh dan didukung Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disbudparpora) Kabupaten Aceh Besar berlangsung selama 4 hari sejak 13-16 April.

Kegiatan bertema “Menapaki Jejak Tradisi, Membentuk Generasi Emas”  ini diikuti 50 orang peserta yang terdiri atas 40 orang siswa-siswi dari dua provinsi yakni Aceh dan Sumatera Utara dan 10 orang guru pendamping dari kedua provinsi bertetangga tersebut.

Kepala BPNB Aceh Irini Dewi Wanti yang membuka kegiatan Jetrada 2016 menjelaskan selain diskusi tradisi yang menghadirkan beberapa narasumber yang berkompeten di bidangnya, kegitan ini juhga diisi dengan kunjungan ke beberapa objek tradisi yang ada di Kabupaten Aceh Besar antara lain  ke desa  nelayan di Krueng Raya, desa perajin rencong di Baet Sibreh, desa adat Lubuk Sukon, dan desa perajin makanan khas Aceh di Empetrieng.

“Kegiatannya perpaduan antara belajar teoritis dan praktik mengenal kebudayaan lebih dalam,” kata Rini.

JETRADA 2016, sambung Rini merupakan salah satu cara untuk memperkenalkan para peserta dengan tradisi yang ada di Kabupaten Aceh Besar sekaligus memperkuat ikatan emosional mereka dengan tradisi yang ada di sekitarnya.


Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar