Senin, 18 April 2016

Kata Mereka tentang Jejak Tradisi Daerah 2016


Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Aceh  sukses menggelar kegiatan Jejak Tradisi Daerah (JETRADA) 2016 di Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh selama 4 hari, 13-16 April.


JETRADA bertema “Menapaki Jejak Tradisi, Membentuk Generasi Emas” yang diikuti 50 peserta terdiri atas 40 orang siswa-siswi tingkat SMA dari Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) serta 10 orang guru pendamping ini, mendapat respon positif baik dari peserta dan guru maupun akademisi dan tokoh masyarakat yang menjadi narasumber diskusi tradisi di kegiatan ini.


Dosen Antropologi FISIP Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Drs. Zulkifli Lubis M.Si menilai kegiatan JETRADA 2016  ini sangat karena pesertanya diajak menapaki jejak-jejak tradisi di suatu daerah, dan tahun ini kebetulan terpilih di Kabupaten Aceh Besar.


Menurut Zulkifli yang tengah melanjutkan kuliah S3 Antropologi di Universitas Indonesia (UI) ini, seberapun efektif hasilnya kegiatan ini, biarkan orang atau pihak lain yang menilainya.


“Saya melihat kegiatan ini sangat positif, sebagai sebuah upaya mengenalkan kembali generasi muda terhadap sejumlah tradisi yang masih hidup di Aceh Besar, yang mungkin saja belum dikenal oleh para peserta, terutama dari luar Aceh,” terangnya.

Zulkifli juga menilai target audiens kegiatan ini yakni  anak-anak sekolah tingkat SMA itu juga sangat bagus, mengingat mereka termasuk kategori liminal, generasi galau yang masih butuh pengarahan dan penjelasan langsung tentang apa itu tradisi.


“Paling tidak dengan kegiatan JETRADA ini, mereka dapat mendengar dan melihat apa itu tradisi budaya lokal yang ada di Aceh Besar khususnya. Bagusnya lagi kalau mereka akhirnya menyadari betapa pentingnya menghargai dan mengambil saripati atau nilai-nilai budaya yang dikandung tradisi budaya lokal setempat,” ujar Zulkifli.


Zulkifli yang kerap meneliti bidang ekologi manusia ini juga memuji kegiatan JETRADA 2016 ini yang mengajak pesertanya berkunjung ke lokasi-lokasi tradisi masyarakat di Aceh Besar.


“Kunjungan langsung ini lebih efektif dibanding ceramah atau diskusi saja. Dengan cara ini peserta bisa berinteraksi langsung dengan warganya. Apalagi ada yang memandu baik dari tokoh masyarakat, perajin, budayawan, dan atau seniman yang menceritakan atau menjelaskan tradisi dan produk budaya lokal setempat,” terangnya.


Dengan cara ini, lanjut Zulkifli peserta menjadi tidak alergi dengan namanya tradisi budaya lokal. 

“Mereka jadi mulai ingin tahu. Kalau sudah ingin tahu, tinggal selangkah lagi memberi asupan pengetahuan dan informasi yang lengkap dan bagus, lalu dikenalkan melalui medium-medium lain disertai teknologi yang canggih dan modern agar mereka enjoy. Kalau mereka sudah enjoy, tentunya mereka akan berkreasi,” papar Zulkifli lagi.


Menurut pria kelahiran Mandailing Natal, Sumatera Utara ini, dalam memperkenalkan tradisi budaya lokal, jangan memantangkan perubahan, karena perubahan itu sendiri adalah hakekat dari kebudayaan. “Kalau kita hambat perubahan itu, kebudayaan akan mati,” ujarnya.


Kembali ke tradisi itu, sambung Zulkifli bukan berarti harus kembali kepada formatnya seperti apa dulu. “Esensinya yang harus tetap dijaga. Kalau ada perubahan-perubahan, itu normal saja,” terangnya.

Melihat banyak hal positif dalam kegiatan ini, Zulkifli menghimbau agar forum-forum seperti JETRADA ini semakin diperbanyak dan pesertanya ditambah. 

“Jangan cuma 40 pelajar SMA saja, masih ada jutaan anak SMA di Indonesia yang perlu diikutsertakan,” imbaunya.


Namun Zulkifli menyadari, keterbatasan peserta dalam JETRADA mungkin terkait dengan ketersediaan anggaran. “Bisa juga hal ini terjadi lantaran pihak Pemerintah Pusat dan Pemda,  belum melihat kebudayaan itu sebagai sesuatu yang penting,” sentilnya.

Hal senada juga diutarakan Wakil Ketua Masyarakat Adat Aceh (MAA) untuk Aceh Besar Drs. Aiyub Yusuf. Menurutnya kegiatan JETRADA harus tetap dipertahankan dan ditingkatkan kualitas dan kemasannya.


“Lewat kegiatan JETRADA ini paling tidak menjadi wadah untuk menyiapkan generasi muda yang peka dengan tradisi budaya lokal, baik yang ada di daerahnya maupun di luar daerahnya. Mau dibawa kemana generasi muda kita, kalau tidak sampai mengenal, minimal tradisi budaya lokalnya sendiri,” terangnya.


Aiyub memberi masukan supaya ke depan peserta JETRADA jangan hanya sebatas pelajar tingkat SMA saja, melainkan juga mulai dari tingkat SD dan SMP.


“Saya sarankan kalau tingkat SD dan SM cukup pengenalan saja. Bisa melewati guru mereka masing-masing yang tentunya didampingi para tokoh masyarakat dan pelaku tradisi lokal setempat. Sementara kalau tingkat SMA bisa seperti yang dilakukan JETRADA ini,” ucapnya.


Melihat begitu positif kegiatan ini, Aiyub menghimbau agar JETRADA terus dilaksanakan agar generasi muda dalam hal ini para pelajar SMA bisa mengenal tradisi budaya lokal dan beradaptasi dengan budaya globalisasi.


Sejumlah pelajar SMA yang menjadi peserta JETRADA 2016 rata-rata mengaku senang bisa terpilih menjadi peserta JETRADA tahun ini.  


Sabrina, misalnya siswi kelas 1 SMAN 3 Medan, Sumut ini mengaku beruntung dapat mengikuti kegiatan ini. “Saya jadi lebih mandiri, karena biasanya kalau pergi kemana-mana selalu sama orang tua,” aku pelajar berhijab yang bisa memainkan alat musik gitar dan pandai menari tarian Melayu dan Batak seperti Tari Japin dan Tor-tor ini.


Pelajar keturunan bapak asal Melayu Kalimantan dan Batak Sumut ini mengaku punya banyak teman baru di kegiatan ini. “Lewat JETRADA ini saya jadi punya teman baru dari luar Sumut yakni Aceh, sekaligus jadi tahu karakter dan budaya lokal mereka,” akunya.


Menurut Sabrina, pelaksanaan kegiatan JETRADA tahun ini sudah cukup bagus, hanya ada beberapa hal yang mesti diperbagus lagi, terutama mengenai pemberitahuan jadual kegiatan per harinya. “Infomasi kegiatannya kurang detil jadi kami kadang tidak tahu besok kumpul jam berapa dan acaranya apa,” akunya.


Lain lagi dengan Aldi dan Rizki Hidayatullah, dua siswa SMA dari Aceh ini mengaku kegiatan JETRADA 2016 ini bukan cuma sekadar mendapatkan teman baru berbeda sekolah bahkan daerah, pun dapat pengalaman baru mengenal lebih jauh tradisi budaya lokal yang selama ini hanya didengar atau dibacanya lewat buku.


“Saya senang pas lagi melihat pembuatan rencong. Seru banget,  saya mencobanya langsung, ternyata pembuatannya tak semudah yang saya  kira,” aku Aldi yang juga ketua OSIS SMAN 2 Takengon, Aceh Tengah ini.


Menurut Aldi ajang JETRADA ini juga menjadi tempatnya memperkenalkan bakatnya baik dalam seni suara, seni bela diri pencak silat, dan lainnya. “Saya bisa sekalian promosiin film yang saya ikuti dan sudah tayang di youtube kepada teman-teman peserta JETRADA ini,” aku Aldi yang terlihat paling aktif di antara peserta lain.


Rizki lain lagi. Pelajar SMAN 1 Ingin Jaya, Aceh Besar ini mengaku paling terkesan saat berkunjung ke desa nelayan di Kawasan Krueng Raya.

Selain bisa menyaksikan  langsung kehidupan para nelayan, juga dapat melihat tangkapan dari hasil melaut para nelayan setempat. “Saya enggak nyangka bisa  lihat ikan pari dan foto dengan ikan pari tangkapan nelayan,” akunya.


Rizki juga tidak menduga, salah satu lokasi yang dikunjungi para peserta JETRADA tahun ini adalah wilayah daerahnya sendiri yakni Desa Wisata Lubuk Sukon. “Bahkan tadi peserta JETRADA sempat melewati sekolah saya, sewaktu pergi dan pulang Shalat Jum’at,” terangnya bangga.


Beberapa guru yang mendampingi pelajar di JETRADA 2016 ini juga mengakui kegiatan ini punya nilai positif yang sangat besar, bukan hanya buat murid, pun para guru pendamping.


Irwansyah, guru seni budaya SMAN 1 Takengon, Aceh Tengah yang mendampingi siswanya ikut JETRADA 2016 mengatakan kegiatan ini  sangat luar biasa karena telah membuka wawasan bagi dirinya sendiri tentang tradisi budaya lokal masyarakat Aceh Besar.


“Meskipun kami satu provinsi, namun dari segi bahasa dan tradisi, antara masyarakat di Aceh Tengah khususnya orang Gayo dengan warga di Aceh Besar itu berbeda. Lewat JETRADA ini saya jadi lebih memahami perbedaan itu,” terangnya.


Keuntungan bagi siswanya, lanjut Irwansyah mereka bisa berjumpa dan saling mengenal dengan siswa dari daerah lain.

“Sewaktu berbicara dengan para siswa, mereka berharap JETRADA tahun-tahun berikutnya dapat mengajak lebih banyak lagi siswa-siswi dari sekolahnya. Jangan cuma dua, kata mereka,” terang Irwansyah yang juga berprofesi sebagai kartunis di sebuah media online di Gayo.


Hal yang sama juga disampaikan Saut Pasaribu, guru sejarah SMAN 1 Lubuk Pakam, Deli Serdang, Sumut yang mendampingi murid-muridnya di JETRADA 2016 ini.

“Kegiatan ini sangat berguna karena memperkaya wawasan budaya khususnya tradisi budaya lokal masyarakat di Aceh Besar kepada para peserta dari luar Aceh. Mereka jadi semakin sadar bahwa Indonesia benar-benar kaya dengan beragam suku dan budaya,” terangnya.


Kepala BPNB Aceh Irini Dewi Wanti bersyukur kegiatan JETRADA 2016 selesai dengan sukses tanpa halangan berarti.


Semua kegiatan yang dirancang, lanjut Rini terlaksana dengan baik, mulai dari pembukaan, diskusi tradisi, kunjungan ke beberapa lokasi objek tradisi di Aceh Besar, city tour Banda Aceh, presentasi karya tulis ilmiah, penutupan hingga pemulangan peserta dari Aceh dan Sumut berlangsung lancar. 

“Seperti harapan banyak pihak, mudah-mudahan JETRADA bisa terus berlanjut dan kemasannya lebih baik lagi,” akunya.


Menurut Rini selepas menggelar JETRADA 2016 yang mendapat dukungan Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disbudparpora) Kabupaten Aceh Besar ini, pihaknya akan mengadakan kegiatan Lawatan Sejarah Daerah (LASEDA).


“Insya Allah kegiatan LASEDA 2016 akan kami adakan pada bulan Mei di salah satu kabupaten di Sumatera Utara dekat dengan Danau Toba, dengan mengundang sejumlah siswa-siswi SMA serta guru pendamping dari Aceh dan Sumut juga,” pungkasnya.


Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratopis@yahoo.com)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar