Jumat, 15 April 2016

Upaya Mencerahkan Budaya Lokal Aceh Besar yang Memudar


Wakil Ketua Majlis Adat Aceh (MAA) untuk Kabupaten Aceh Besar Drs Aiyub Yusuf menilai keberadaan budaya dan kehidupan berkeagamaan masyarakat Aceh Besar yang bersendikan ajaran Islam (syara’) kini amat memprihatinkan, semakin tergeser bahkan memudar. Generasi mudanya semakin jauh dengan budaya lokal. Kegiatan keagamaan yang dulu begitu hidup dan semarak kini sepi, seperti mati suri.


"Saya sangat prihatin. Belakangan ini generasi muda di Aceh Besar  kian terbuai dengan budaya-budaya luar yang mulai mendominasi budaya lokal. Diperparah dengan pemanfaat kemajuan teknologi informasi yang salah kaprah dan lunturnya kepedulian," kata Aiyub tentang keberadaan budaya lokal dan kehidupan berkeagamaan masyarakat Aceh Besar dalam diskusi tradisi  hari pertama kegiatan  Jejak Tradisi Daerah (Jetrada) 2016 yang digelar Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Aceh dan didukung Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disbudparpora) Kabupaten Aceh Besar di Hotel Hijrah, Lambaro, Aceh Besar, Provinsi Aceh, Rabu (13/4).

Sekitar tahun 70-an hingga 80-an, keberadaan budaya lokal dan kehidupan berkeagamaan di Aceh Besar masih begitu kental.

“Ketika itu anak-anak dan muda-muda masing sering kumpul dan meramikan  meunasah-meunasah dan masjid-masjid unttuk beribadah sholat lima waktu  berjamaah, mengaji, dan lainnya. Sekarang mereka, terlebih anak muda bahkan orangtua yang justru lebih sering duduk-duduk di kedai kopi, terlebih selepas maghrib,” terangnya dengan mimik cemas.

Lunturnya pemahaman nilai-nilai budaya lokal dan agama, lanjut Aiyub bukan hanya berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakatnya pun mengakibatkan kemerosotan  akhlak generasi mudanya  yang tercermin dari sikap dan tindakannya. “Contoh kecilnya, anak muda sekrang jadi lebih individualistis, lebih asyik dengan laptop, handphone, dan lebih  senang berlama-lama di kedai kopi dan lainnya,” ungkapnya.

Dulu rasa persatunan dan kesatuan, kepedulian, serta kegotongroyongan masyarakat Aceh Besar, sambung Aiyub masih kuat. Begitupun kehidupan berkesenian masih tinggi. “Contohnya Tari Seudati saat itu marak, jadi tren karena diminati anak muda dan mereka bangga menarikannya,” terangnya.

Lebih anjut Aiyub menerangkan bahwa dalam budaya Aceh, meunasah dan masjid itu selain sebagai tempat beribadah wajib dan sunah, juga menjadi tempat menyelesaikan permasalahan sosial  sekaligus tempat menyusun semua program kegiatan agama Islam. “Sampai sekarang kondisi itu memang masih berlangsung tapi intensitasnya menurun, tak sekuat dulu,” akunya.

Menurut Aiyub memudarnya budaya lokal dan kehidupan berkeagamaan masyarakat Aceh Besar tak bisa dipungkiri karena pengaruahi beberapa faktor terutama peristiwa masa lalu seperti penjajahan Belanda dan Jepang, penerapan kebijakan Pemerintah Pusat, dan konflik yang berkepanjangan.

Era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan di bidang teknologi informasi dan lainnya telah menyeret generasi muda Aceh ke kancah yang bersifat negatif.  “Banyak yang salah kaprah dalamn memanfaatkan teknologin internet yang semakin mudah diakses lewat laptop dan handphone sehingga merugikan diri sendiri, hingga melunturkan kehidupan sosial dan berkeagamannya,” ungkap Aiyub.

Faktor perkawinan campuran lanjut Aiyub juga sangat berpengaruh terhadap pergeseran nilai-nilai budaya, mengingat kedua belah pihak memiliki adat atau budaya yang berbeda.

Terjadinya perpindahan penduduk, baik itu transmigrasi dan urbanisasi juga turut mempengaruhi bahkan merubah budaya setempat. Masyarakat yang datang itu membawa serta budayanya yang lambat laun mempengaruhi nilai-nilai budaya lokal dan atau sebaliknya. “Akhirnya muncul budaya baru, dan budaya pun semakin beragam hingga terjadi kesenjangan yang kerap menimbulkan pro dan kontra,” terang Aiyub.

Fenomena keberagaman budaya di Aceh Besar, lanjut Aiyub dapat dilihat dalam masyarakat yang tinggal terutama di Kecamatan Lembah Seulawah, Kota Janthor, Ingin Jaya, dan Kecamatan Darussalam.

Perubahan nilai-nilai budaya lokal yang telah menyeret tatanan kehidupan masyarakat ke arah yang sangat memperhatinkan ini memerlukan perhatian serius semua pihak untuk mengantisipasinya.

“Kami dari Majlis Adat Aceh atau MAA Kabupaten Aceh Besar telah melakukan sosialisasi di semua kecamatan di Aceh Besar. Caranya dengan membekali para pimpinan gampong untuk menjaga serta mempertahankan nilai-nilai budaya lokal dan menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat adat sesuai dengan  MoU Gubernur Aceh, Kapolda Aceh, MAA, dan DPRD Aceh serta pihak lainnya,” jelas Aiyub seraya menambahkan program ini akan terus dilakukan oleh pengurus MAA yang baru saja terbentuk sebagai tindak lanjut program kerja MAA periode sebelumnya.

Diskusi Tradisi selain menghadirkan Aiyub, juga ada Dosen Antropologi FISIP USU Drs Medan Zulkifli Lubis M.Si  dan Akademisi   DR. Anwar M.Ed.

Zulkifli dan Anwar sama-sama setuju kalau tradisi masyarakat di Aceh Besar khususnya harus tetap dipertahankan dan dilestarikan secara konsisten.

Menurut Zulkifli yang tengah kuliah S3 di UI, tradisi itu menjadi akar kuat sekaligus karakter sebuah daerah. “Kalau tradisi itu tercabut dari akarnya, masyarakat itu akan terombang-ambing tak tentu arah, tak punya jati diri. Kita perlu mencontoh bangsa besar seperti Jepang yang begitu teguh menjaga dan melestarikan tradisi-tradisinya sehingga karakternya begitu menonjol meskipun mereka sudah sangat modern,” akunya.

Pelestarian tradisi disini, lanjut Zulkifli bukan kembali kekunoan melainkan tetap tidak meninggalkan tradisi yang positif untuk mendukung kehidupan masa kini.

“Pengenalan tradisi harus diberikan sejak usia dini, mulai dari TK dan seterusnya karena ini sangat penting, agar nilai-nilai budaya dalam tradisi itu tertanam kuat sejak awal,” imbau Zulkifli.

Anwar menambahkan  tradisi merupakan kekayaan intelektual dan kultural yang diwarisi dan perlu diwarikan ke generasi berikutnya. “Tak ada pilihan jika ingin masyarakat Aceh Besar berkarakter budaya kuat selain dengan terus melestarikannya,” ujar Anwar yang juga menjabat kepala SMAN Modal Bangsa Aceh  di Aceh Besar yang dikelola Pemprov Aceh.

Kepala BPNB Aceh Irini Dewi Wanti yang membuka kegiatan Jetrada 2016 menjelaskan kegiatan ini merupakan salah satu cara untuk  memperkenalkan para peserta dengan tradisi yang ada di Kabupaten Aceh Besar sekaligus memperkuat ikatan emosional mereka dengan tradisi yang ada di sekitarnya.

“Lewat kegiatan ini diharapkan juga dapat memberikan wawasan baru melalui pengalaman luar sekolah serta menanamkan sikap “Sadar Tradisi” dan “Cinta Budaya Sendiri”, disamping menanamkan sikap peduli dan membiasakan para peserta untuk selalu terlibat dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan pelestarian tradisi dan nilai budaya melalui praktik,” paparnya.

Jetrada2016 yang bertema “Menapaki Jejak Tradisi, Membentuk Generasi Emas”  ini akan berlangsung selama 4 hari sejak tanggal 13 hingga 16 April 2016. Pesertanya berjumlah 50 orang yang terdiri atas 40 orang siswa-siswi dari dua provinsi yakni Aceh dan Sumatera Utara dan 10 orang guru pendamping dari kedua provinsi bertetangga tersebut.

Bentuk kegiatan Jetrada 2016 ini, sambung Rini selain diskusi tradisi yang menghadirkan beberapa narasumber yang berkompeten di bidangnya, juga berupa penelusuran jejak tradisi lokal dengan cara mengunjungi beberapa objek tradisi yang ada di Kabupaten Aceh Besar antara lain  ke desa  nelayan di Krueng Raya, desa perajin rencong di Baet Sibreh, desa adat Lubuk Sukon, dan desa pembuat aneka dodol khas Aceh Besar di Empetrieng.

Kegiatannya perpaduan antara belajar teoritis dan praktik mengenal budaya lokal dan tradisinya secara mendalam,” kata Rini lagi

Jetrada 2016 ini, lanjut Rini ini juga merupakan upaya untuk mencerahkan kembali tradisi budaya lokal masyarakat di Aceh Besar yang mulai memudar seperti diutarakan Aiyub. "Sebenarnya banyak cara untuk itu, Jetrada adalah salah satunya. Oleh karena itu kita akan usahakan terus berlanjut setiap tahunnya, " ungkap Rini penuh semangat.

Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar