Wakil Ketua
Majlis Adat Aceh (MAA) untuk Kabupaten Aceh Besar Drs Aiyub Yusuf menilai keberadaan budaya dan kehidupan
berkeagamaan masyarakat Aceh Besar yang bersendikan ajaran Islam (syara’) kini amat memprihatinkan, semakin tergeser bahkan memudar.
Generasi mudanya semakin jauh dengan budaya lokal. Kegiatan keagamaan yang dulu
begitu hidup dan semarak kini sepi, seperti mati suri.
"Saya sangat prihatin. Belakangan ini generasi muda di Aceh Besar kian terbuai dengan budaya-budaya luar yang mulai mendominasi budaya lokal. Diperparah dengan pemanfaat kemajuan teknologi informasi yang salah kaprah dan lunturnya kepedulian," kata Aiyub tentang keberadaan budaya lokal dan kehidupan berkeagamaan masyarakat Aceh Besar dalam diskusi tradisi hari pertama kegiatan Jejak Tradisi Daerah (Jetrada) 2016 yang digelar Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Aceh dan didukung Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disbudparpora) Kabupaten Aceh Besar di Hotel Hijrah, Lambaro, Aceh Besar, Provinsi Aceh, Rabu (13/4).
"Saya sangat prihatin. Belakangan ini generasi muda di Aceh Besar kian terbuai dengan budaya-budaya luar yang mulai mendominasi budaya lokal. Diperparah dengan pemanfaat kemajuan teknologi informasi yang salah kaprah dan lunturnya kepedulian," kata Aiyub tentang keberadaan budaya lokal dan kehidupan berkeagamaan masyarakat Aceh Besar dalam diskusi tradisi hari pertama kegiatan Jejak Tradisi Daerah (Jetrada) 2016 yang digelar Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Aceh dan didukung Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disbudparpora) Kabupaten Aceh Besar di Hotel Hijrah, Lambaro, Aceh Besar, Provinsi Aceh, Rabu (13/4).
Sekitar tahun
70-an hingga 80-an, keberadaan budaya lokal dan kehidupan berkeagamaan di Aceh
Besar masih begitu kental.
“Ketika itu
anak-anak dan muda-muda masing sering kumpul dan meramikan
meunasah-meunasah dan masjid-masjid unttuk beribadah sholat lima
waktu berjamaah, mengaji, dan lainnya. Sekarang mereka, terlebih anak
muda bahkan orangtua yang justru lebih sering duduk-duduk di kedai kopi,
terlebih selepas maghrib,” terangnya dengan mimik cemas.
Lunturnya
pemahaman nilai-nilai budaya lokal dan agama, lanjut Aiyub bukan hanya
berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakatnya pun mengakibatkan
kemerosotan akhlak generasi mudanya yang tercermin dari sikap dan
tindakannya. “Contoh kecilnya, anak muda sekrang jadi lebih individualistis,
lebih asyik dengan laptop, handphone, dan lebih senang berlama-lama di
kedai kopi dan lainnya,” ungkapnya.
Dulu rasa
persatunan dan kesatuan, kepedulian, serta kegotongroyongan masyarakat Aceh
Besar, sambung Aiyub masih kuat. Begitupun kehidupan berkesenian masih tinggi.
“Contohnya Tari Seudati saat itu marak, jadi tren karena diminati anak muda dan
mereka bangga menarikannya,” terangnya.
Lebih anjut
Aiyub menerangkan bahwa dalam budaya Aceh, meunasah dan masjid itu selain
sebagai tempat beribadah wajib dan sunah, juga menjadi tempat menyelesaikan
permasalahan sosial sekaligus tempat menyusun semua program kegiatan
agama Islam. “Sampai sekarang kondisi itu memang masih berlangsung tapi
intensitasnya menurun, tak sekuat dulu,” akunya.
Menurut Aiyub
memudarnya budaya lokal dan kehidupan berkeagamaan masyarakat Aceh Besar tak bisa
dipungkiri karena pengaruahi beberapa faktor terutama peristiwa masa lalu
seperti penjajahan Belanda dan Jepang, penerapan kebijakan Pemerintah Pusat,
dan konflik yang berkepanjangan.
Era globalisasi
yang ditandai dengan kemajuan di bidang teknologi informasi dan lainnya telah
menyeret generasi muda Aceh ke kancah yang bersifat negatif. “Banyak yang
salah kaprah dalamn memanfaatkan teknologin internet yang semakin mudah diakses
lewat laptop dan handphone sehingga merugikan diri sendiri, hingga melunturkan
kehidupan sosial dan berkeagamannya,” ungkap Aiyub.
Faktor
perkawinan campuran lanjut Aiyub juga sangat berpengaruh terhadap pergeseran
nilai-nilai budaya, mengingat kedua belah pihak memiliki adat atau budaya yang
berbeda.
Terjadinya
perpindahan penduduk, baik itu transmigrasi dan urbanisasi juga turut
mempengaruhi bahkan merubah budaya setempat. Masyarakat yang datang itu membawa
serta budayanya yang lambat laun mempengaruhi nilai-nilai budaya lokal dan atau
sebaliknya. “Akhirnya muncul budaya baru, dan budaya pun semakin beragam hingga
terjadi kesenjangan yang kerap menimbulkan pro dan kontra,” terang Aiyub.
Fenomena
keberagaman budaya di Aceh Besar, lanjut Aiyub dapat dilihat dalam masyarakat
yang tinggal terutama di Kecamatan Lembah Seulawah, Kota Janthor, Ingin Jaya,
dan Kecamatan Darussalam.
Perubahan
nilai-nilai budaya lokal yang telah menyeret tatanan kehidupan masyarakat ke
arah yang sangat memperhatinkan ini memerlukan perhatian serius semua pihak
untuk mengantisipasinya.
“Kami dari
Majlis Adat Aceh atau MAA Kabupaten Aceh Besar telah melakukan sosialisasi di
semua kecamatan di Aceh Besar. Caranya dengan membekali para pimpinan gampong
untuk menjaga serta mempertahankan nilai-nilai budaya lokal dan menyelesaikan
sengketa yang timbul dalam masyarakat adat sesuai dengan MoU Gubernur
Aceh, Kapolda Aceh, MAA, dan DPRD Aceh serta pihak lainnya,” jelas Aiyub seraya
menambahkan program ini akan terus dilakukan oleh pengurus MAA yang baru saja terbentuk
sebagai tindak lanjut program kerja MAA periode sebelumnya.
Diskusi Tradisi selain menghadirkan
Aiyub, juga ada Dosen
Antropologi FISIP USU Drs Medan Zulkifli Lubis M.Si dan Akademisi DR. Anwar M.Ed.
Zulkifli dan Anwar sama-sama setuju
kalau tradisi masyarakat di Aceh Besar khususnya harus tetap dipertahankan dan
dilestarikan secara konsisten.
Menurut Zulkifli yang tengah kuliah
S3 di UI, tradisi itu menjadi akar kuat sekaligus karakter sebuah daerah. “Kalau
tradisi itu tercabut dari akarnya, masyarakat itu akan terombang-ambing tak
tentu arah, tak punya jati diri. Kita perlu mencontoh bangsa besar seperti Jepang
yang begitu teguh menjaga dan melestarikan tradisi-tradisinya sehingga
karakternya begitu menonjol meskipun mereka sudah sangat modern,” akunya.
Pelestarian tradisi disini, lanjut
Zulkifli bukan kembali kekunoan melainkan tetap tidak meninggalkan tradisi yang
positif untuk mendukung kehidupan masa kini.
“Pengenalan tradisi harus diberikan
sejak usia dini, mulai dari TK dan seterusnya karena ini sangat penting, agar
nilai-nilai budaya dalam tradisi itu tertanam kuat sejak awal,” imbau Zulkifli.
Anwar menambahkan tradisi merupakan kekayaan intelektual dan
kultural yang diwarisi dan perlu diwarikan ke generasi berikutnya. “Tak ada pilihan
jika ingin masyarakat Aceh Besar berkarakter budaya kuat selain dengan terus melestarikannya,”
ujar Anwar yang juga menjabat kepala SMAN Modal Bangsa Aceh di Aceh Besar yang dikelola Pemprov Aceh.
Kepala BPNB
Aceh Irini Dewi Wanti yang
membuka kegiatan Jetrada 2016 menjelaskan kegiatan ini merupakan salah satu cara untuk memperkenalkan para peserta dengan tradisi
yang ada di Kabupaten Aceh Besar sekaligus memperkuat ikatan emosional mereka
dengan tradisi yang ada di sekitarnya.
“Lewat kegiatan ini diharapkan juga dapat memberikan
wawasan baru melalui pengalaman luar sekolah serta menanamkan sikap “Sadar
Tradisi” dan “Cinta Budaya Sendiri”, disamping menanamkan sikap peduli dan
membiasakan para peserta untuk selalu terlibat dan berpartisipasi aktif dalam
kegiatan pelestarian tradisi dan nilai budaya melalui praktik,” paparnya.
Jetrada2016 yang bertema “Menapaki Jejak Tradisi,
Membentuk Generasi Emas” ini akan berlangsung selama 4 hari sejak tanggal
13 hingga 16 April 2016. Pesertanya berjumlah 50 orang yang terdiri atas 40
orang siswa-siswi dari dua provinsi yakni Aceh dan Sumatera Utara dan 10 orang
guru pendamping dari kedua provinsi bertetangga tersebut.
Bentuk kegiatan Jetrada 2016 ini, sambung Rini selain
diskusi tradisi yang menghadirkan beberapa narasumber yang berkompeten di
bidangnya, juga berupa penelusuran jejak tradisi lokal dengan cara
mengunjungi beberapa objek tradisi yang ada di Kabupaten Aceh Besar antara
lain ke desa nelayan di Krueng Raya, desa perajin rencong di Baet
Sibreh, desa adat Lubuk Sukon, dan desa pembuat aneka dodol khas Aceh Besar di Empetrieng.
“Kegiatannya perpaduan antara belajar teoritis dan praktik mengenal budaya lokal dan tradisinya secara
mendalam,” kata Rini lagi
Jetrada 2016 ini, lanjut Rini ini juga merupakan upaya untuk mencerahkan kembali tradisi budaya lokal masyarakat di Aceh Besar yang mulai memudar seperti diutarakan Aiyub. "Sebenarnya banyak cara untuk itu, Jetrada adalah salah satunya. Oleh karena itu kita akan usahakan terus berlanjut setiap tahunnya, " ungkap Rini penuh semangat.
Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com)
Jetrada 2016 ini, lanjut Rini ini juga merupakan upaya untuk mencerahkan kembali tradisi budaya lokal masyarakat di Aceh Besar yang mulai memudar seperti diutarakan Aiyub. "Sebenarnya banyak cara untuk itu, Jetrada adalah salah satunya. Oleh karena itu kita akan usahakan terus berlanjut setiap tahunnya, " ungkap Rini penuh semangat.
Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar