
Kaki-kaki ini adalah fakta nyata kalau orang Baduy atau urang Kanekes
adalah salah satu suku pejalan kaki tanpa alas, entah itu sandal apalagi sepatu
paling tangguh sedunia.
Fakta lainnya, mereka buktikan lewat upacara Seba Baduy yang digelar
setiap tahun selepas melaksanakan kewajiban puasa 3 bulan atau Kawalu.
Jarak puluhan bahkan ratusan kilometer mereka tempuh dengan berjalan kaki tanpa alas dari tiga kampung inti Baduy Dalam (Tangtu) yakni Cikeusik, Cibeo, dan Cikartawarna melewati lereng, hutan, bukit-bukit, sungai-sungai, dan kampung-kampung di Pegunungan Kendeng sebelum tiba di Kampung Baduy Luar (Panamping).
Setelah istirahat semalam di wilayah Panamping, paginya mereka baru bergabung dengan orang Panamping untuk bersama-sama melaksanakan Seba Baduy 2017, berjalan kaki sambil membawa beragam hasil bumi seperti pisang, padi, gula aren, pete dan lainnya untuk diserahkan ke kepala daerah, serta hasil kerajinan seperti tas rajutan, ikat kepala, kain tenun, dan madu untuk sekalian mereka jual.
Jarak puluhan bahkan ratusan kilometer mereka tempuh dengan berjalan kaki tanpa alas dari tiga kampung inti Baduy Dalam (Tangtu) yakni Cikeusik, Cibeo, dan Cikartawarna melewati lereng, hutan, bukit-bukit, sungai-sungai, dan kampung-kampung di Pegunungan Kendeng sebelum tiba di Kampung Baduy Luar (Panamping).
Setelah istirahat semalam di wilayah Panamping, paginya mereka baru bergabung dengan orang Panamping untuk bersama-sama melaksanakan Seba Baduy 2017, berjalan kaki sambil membawa beragam hasil bumi seperti pisang, padi, gula aren, pete dan lainnya untuk diserahkan ke kepala daerah, serta hasil kerajinan seperti tas rajutan, ikat kepala, kain tenun, dan madu untuk sekalian mereka jual.
Mereka berjalan beriringan dengan tertib dan teratur menyusuri jalan
raya beraspal (tanpa alas kaki) menuju Kota Rangkasbtung untuk menemui Ibu Gede
(Bupati Lebak) di Pendopo Bupati dekat Alun-Alun Rangkasbitung (bermalam 1
malam), lalu ke Pendopo Bupati Pandeglang, dan terakhir ke Pendopo Gubernur bersilaturahin
dengan Bapak Gede (Gubernur Banten) di Kota Serang (juga bermalam 1 malam).
Selanjutnya dari Kota Serang keesokan paginya usai acara pelepasan, mereka
kembali lagi ke kampung masing-masing di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, yang
masuk wilayah Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Bayangkan, total jarak yang mereka tempuh dalam rangka Seba Baduy 2017
dari Desa Kanekes ke Kota Serang pergi-pulang berjalan kaki tanpa alas sekitar 130
kilometer lebih selama 6 hari.
Idong (29), salah satu warga Baduy Dalam yang ikut Seba Baduy 2017, mengaku
berangkat dari rumahnya di Kampung Cibeo pada hari Kamis (27/4) pukul 4 subuh, kemudian bermalam di Kampung
Baduy Luar dekat Ciboleger.
“Jum’at paginya kami berangkat bersama-sama Baduy Luar untuk Seba Baduy 2017
ke Kota Rangkasbitung. Kami sempat istrahat di tengah perjalanan selama 2 jam
dan tiba di pintu masuk Kota Rangkasbitung pukul 3 sore. Satu jam kemudian
sampai di Pendopo Bupati Lebak dan disambut perwakilan dari Pemerintahan
Kabupaten Lebak dan masyarakatnya,” ujar Idong kepada Rona Budaya setibanya di
pendopo Bupati Lebak, Jumat (28/4) dengan wajah tetap segar, tak berkeringat,
dan tak menyiratkan lelah sama sekali.
“Kami sudah terbiasa jalan kaki tanpa alas sejak kecil, pokoknya sejak
kami mulai bisa berjalan,” akunya.
Menurut Idong ajang Seba Baduy juga menjadi sarana latihan bagi
anak-anak Baduy. Jadi jangan heran kalau peserta Seba Baduy tahun ini yang
berjumlah sekitar 2.000 orang Baduy (lebih dominan Panamping) di antaranya juga
anak-anak memasuki usia belasan tahun.
“Biasanya anak-anak yang ikut ditemani ayahnya, abang atau sesama teman
seumuran,” terangnya.
Lantaran sejak kecil berjalan kaki tanpa alas menempuh jarak sampai ratusan
kilometer, bahkan banyak di antaranya yang pergi untuk berjualan aneka
kerajinan sampai ke Bogor, Depok, Tangerang, Jakarta, Bekasi, bahkan ke Cirebon
hingga Bandung akhirnya turut mempengaruhi bentuk dan ukuran kakinya.
Kalau diperhatikan, bentuk telapak kaki orang Baduy agak lebih besar dan
terkesan kokoh dari kebanyakan kaki orang lain pada umumnya.
Sementara postur tubuhnya hampir seluruhnya ramping-ramping lantaran
tenaganya kerap terkuras untuk aktivitas sehari-hari yang mereka lakukan dengan
berjalan kaki tanpa alas dimanapun dan kemanapun.
“Alas kaki dan naik kendaraan jenis apapun itu pantang bagi kami, dan
sudah jadi aturan hidup urang Kanekes, “terang Idong yang kerap dipanggil Ayah
Arnia (Arnia itu nama buah hatinya yang masih berusia 4 tahun).
Apakah pantangan itu menyusahkannya? “Tidak, kami ikhlas melakukan dan
ini jadi ciri khas dan kebanggan kami sebagai urang Kanekes,” ujarnya.
Sejumlah orang Baduy berusia muda yang Rona Budaya sebagai
peserta Seba Baduy 2017 seperti Arta (22), Medi (19), dan Sadam (13) pun
mengutarakan hal yang sama.
Berjalan kaki tanpa alas kemanapun mereka tuju bukanlah beban, melainkan
konsekuensi sebagai orang Baduy yang dilakukan sepenuh hati.
Dan hasilnya, bukan saja membuat mereka mendapat julukan sebagai suku
pejalan kaki tanpa alas paling tangguh sedunia, pun membuat keberadaan mereka
kini semakin menarik perhatian bangsa lain termasuk sesama bangsanya sendiri,
bangsa Indonesia.
Kenapa? Karena banyak orang (baca: wisatawan) yang menilai Baduy itu
salah satu suku atau kelompok masyarakat yang unik, beda, dan setia atau patuh
dengan aturan adat-istiadatnya di Indonesia bahkan di dunia, sehingga banyak
yang datang ke kampung-kampung intinya untuk melihat keistimewaan/kekhasan
mereka lainnya, kemudian mempelajari, menguak, dan memahaminya lebih dalam.
Salam Budaya...
Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar