Sabtu, 23 Juni 2018

Indonesia Bakal Tampilkan 4 Tarian Daerah di Festival Llangollen Inggris


Tim Indonesia yang diwakili SMA Al-Izhar Pondok Labu Jakarta akan menampilkan empat tarian di ajang festival budaya antarbangsa Llangollen International Musical Eisteddfod di North Wales, Inggris pada 3 - 8 Juli 2018.

Keempat tarian daerah tersebut adalah Tari Belibis, Tari Nagekeo Bangkit, Tari Muda Mudi Papua, dan Tari Kipah.

Dalam acara ‘Gelar Pamit Misi Budaya SMA Al-Izhar di Balairung Soesilo Soedarman, Gedung Sapta Pesona, kantor Kementerian Pariwisata (Kemenpar), Jakarta, Sabtu (23/6/2018), keempat tarian itu disuguhkan para  murid SMA Al-Izhar di bawah bimbingan sanggar tari Gema Citra Nusantara (GCN), ditambah satu Tari Mirah dari Betawi yang dibawakan para alumni tahun lalu.

Acara tersebut dihadiri Kepala Biro Komunikasi Publik, Kementerian Pariwisata (Kemenpar) Guntur Sakti yang mewakili Sekretaris Kemenpar Ukus Kuswara, Direktur Utama Al-Izhar Pondok Labu, Arniyani Arifin dan sejumlah orangtua murid.

Tari Belibis  dengan penata tari NLN Swathi Wijaya Bandem dan komposer musik I Nyoman Windha, disuguhkan sebagai tarian pembuka.

Tarian yang berasal dari Bali ini berkisah tentang raja atau prabu Angling Dharma yang dikutuk istrinya menjadi seeokor burung Belibis.

Dalam pengembaraannya dia bertemu dengan sekawanan Burung Belibis, namun dia tidak diterima kelompok itu lantaran bisa berbicara seperti manusia.

Gerak tari yang dibawakan lima siswi SMA Al-Izhar ini  menunjukkan penampilan yang menarik dan harmonis dengan seperangkat gamelan yang mengiringinya.

Selanjutnya ditampilkan Tari Nagakeo Bangkit dengan penata tari Mira Arismunandar dan Erik Setiawan, penata musik Asep Supriyatna dan Altajaru serta lirik ditulis oleh Andi Gani Nena Wea.

Tarian yang berasal dari Flores, NTT ini menggambarkan anak muda Nagakeo yang siap menghadapi tantangan masa depan.

Tarian yang dibawakan 10 penari perempuan ini mencerminkan diskusi untuk mencapai persatuan dan solidaritas dalam meraih tujuan untuk bangkit. Gerakannya feminin namun cukup dinamis.

Berikutnya Tari Muda-Mudi Papua dengan penata taari Mira Arismunandar dan penata musiknya Asep Supriyatna serta Altajaru.

Tarian yang dibawakan siswa dan siswi SMA Al-Izhar ini menceriatkan pergaulan muda-mudi di Papua dengan gerakan yang khas dan dinamis.

Sementara Tari Kipah yang berasal dari Aceh, penata tarinya Mira Arismunandara dan Jufrizal.

Dalam sejarah, tarian yang dibawakan para penari perempuan ini biasanya digunakan sebagai media komunikasi pada masa penyebaran Islam di Indonesia. Tapi sekarang sudah menjadi tarian tradisional Aceh yang sudah dipentaskan hampir di seluruh dunia.

Tari Kipah ini menggambarkan kebersamaan dan kerjasama yang ada di masyarakat dan memiliki gerakan yang sangat  cepat dan kompak.

Kipah atau kipas tradisional khas Aceh digunakan sebagai properti dalam tarian ini. Kipas ini menghasilkan suara unik yang membuat tarian ini menjadi lebih hidup.

Tim misi budaya SMA Al-Izhar di Llangollen International Musical Eisteddfod tahun ini  berjumlah 31, orang terdiri atas 24 murid, 4 pelatih, 1 art director, 1 guru, dan 1 officer. Tim ini pun mendapat dukungan dari Kemenpar.

Mereka akan tampil dalam 3 kategori kompetisi yang diikuti yaitu traditional dance, choreographed folk dance, dan cultural  showcase dengan membawakan 4 tarian daerah tersebut.

Ajang festival budaya bergengsi ini diikuti lebih dari 5.000 penyanyi, penari dan pemusik dari sekitar 50 negara.

Pada tahun ini festival tersebut diikuti 5.000 lebih  penyanyi, penari, dan pemusik dari sekitar 50 negara untuk melakukan pertunjukan di depan lebih dari 50.000 orang penonton berlangsung selama 6 hari.

Sebagai catatan pada festival tahun lalu, tim Indonesia yang juga diwakili SMA Al-Izhar berhasil mendapat juara 2 dalam kategori dancing in the street.

Naskah: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)

Foto: joko-humas kemenpar

Captions:
1. Tari Muda-Mudi Papua
2. Tari Belibis, Bali
3. Tari  Nagakeo Bangkit, Flores, NTT
5. Tari Kipah, Aceh
6. Para pemain musik.


Kamis, 07 Juni 2018

Tarian Diwo Utan Kabong dan Thongin Semarakkan Launching TCOF Season 3


Sejumah  anak sedang bermain di tepi hutan Kabong, Pulau Penutuk, Bangka Selatan. Merekabegtu ceria,  tak bisa diam, berlari kesana-kemari sambil tertawa dan bercanda. Keasyikan bermain, mereka sampai memasuki hutan Kabong yang kabarnya banyak hatunya.  Dan benar saja mereka bertemu dengan hantu Diwo sehingga mereka kesurupan.

Itulah garis besar isi tarian berjudul Diwo Utan Kabong yang dibawakan tujuh penari terdiri atas lima penari pria dan dua penari perempuan dari Sanggar Seni Sanggar Seni Dharma Habangka asal Toboali, Kabupaten Bangka Selatan (Basel), Pulau Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) dalam acara peluncuran even Toboali City On Fire (TCOF) Season 3 di Balairung Soesilo Soedarman, Gedung Sapta Pesona, Jakarta, Kamis (7/6/2018).
TCOF jilid 3 tahun ini diluncurkan oleh Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya bersama dengan Gubernur Babel H. Erzaldi Rusman dan Bupati Basel Justiar Noer.

Kostum tari yang dikenakan para penari Diwo Utan Kabong terbilang sangat simple.
Kelima penari laki-lakinya memakai baju tak berlengan berwarna coklat dan celana batik dari kain cual selutut, ditambah  ikat kepala  juga dai kain cual.

Sementara dua penari perempuannya mengenakan atasan berwarna coklat dengan lengan berwarna kuning.

Menurut ketua Sanggar Seni Dharma Habangka,  Rendy Agustian Jikrin, Diwo Utan Kabong merupakan tarian modifikasi yang terinspirasi dari cerita rakyat di Toboali, Basel.

Tarian itu memang menggambarkan keceriaan anak-anak yang sedang bermain di Hutan Kabong pada siang hari.  

“Tanpa disadari mereka bertemu dengan sosok diwo hantu  yang menyerupai manusia. Akhirnya mereka kemasukan dan terjebak di alam yang lain. Mereka disembunyikan oleh diwo sehingga lupa diri, lemah, dan menangis ketakutan,” terang Rendy yang pernah menjadi Bujang Bangsel 2017.

Kata Rendy lagi, di awal tarian, gerakan para penarinya antraktif karena mengambar keceriaan anak-anak meskipun yang menarikannya bukan anak-anak.

Richard Anugrah, salah satu penari laki-laki dalam tarian itu yang berperan sebagai Diwo atau hantu menambahkan sampai saat ini Hutan Kabung di Pulau Penutuk dipercayai masyarakat Basel sebagai hutan terlarang lantaran dihuni oleh diwo atau hantu.

Selain menampilan  tarian Diwo Utan Kabong, para penari Sanggar Seni Dharma Habangka juga membawakan tarian kedua berjudul Thongin.

Tarian itu menceritakan tentang  masyarakat Tioghoa di Basel. “Thongin merupakan sebutan masyarakat keturunan Thionghoa yang menetap sejak lama di Basel,” jelas Rendy.

Tarian tersebut dibawakan  10 penari, terdiri atas  5 penari perempuan dan 5 laki-laki dengan kostum tari berwarna merah menyala.

“Kehidupan masyrakat Melayu di Basel juga tak lepas dari pengaruh budaya Tionghoa. Mereka hidup rukun dan damai,” terang Rendy.

Kedua tarian itu produksi Sanggar Seni Dharma Habangka dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Basel.

Sanggar Seni Dharma Habangka sendiri baru pertama kali tampil di Gedung Sapta Pesona yang menjadi kantor Kementerian Pariwisata (Kemenpar).

Prestasi sanggar yang terbentuk pada 21 Novemberb 2018 ini antara lain pernah meraih juara III Nasional Penyaji Terbaik.

Di tingkat Provinsi Babel pada tahun 2016 lalu sebagai Penyaji Unggulan 3 Festival Serumpun Sebalai, dan sebagai Duta Seni dan Budaya Festival Kemerdekaan di Danau Toba Sumatera Utara 2016 lalu.  

Selain itu juara 1 tingkat nasional berturut-turut di even TCOF yang pertama dan kedua, tepatnya  tahun 2016 dan 2017.

“Lomba tari di TCOF boleh dibilang bertaraf nasional karena ada beberapa pesertanya yang berasal  dari luar Provinsi Kepulauan Babel,” pungkas Rendy.

Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)

Captions:
1. Para penari Diwo Utan Kabong. (foto; adji)
2. Penulis bersama para penari  Thongin. (foto: rendy)
3. Suguhan Tari Thongin di acara peluncuran even Toboali City on Fire di Jakarta. (foto: titi)
4. Penulis berfoto bersama para penari Diwo Utan Kabong dan Thongin. (foto: rendy)

Jumat, 20 April 2018

Begini Cara Dayak Ma’nyan Mengusir Roh Jahat dalam Tarian Wadian Dadas

Suku Dayak Ma’nyan  di Kecamatan Dusun Timur, Kabupaten Barito Selatan,  Kalimantan Tengah (Kalteng) punya cara tersendiri dalam mengobati orang yang sakit karena kemasukan roh jahat. Nah oleh para seniman, khususnya penari,  pengobatan tradisional itu menjadi sumber inspirasi  penciptaan sebuah karya seni tari bertajuk, Wadian Dadas.

Di awal tarian, seorang penari perempuan masuk ke panggung. Dia memerankan Ineh Ngunndri GunungTarian, sosok perempuan yang mendapatkan ilham untuk menjalankan suatu tugas dari dewa untuk mengobati orang yang sakit lantaran diganggu roh-roh jahat.

Perempuan itu merupakan Wadian yang pertama dan merupakan utusan dewa yang diwujudkan dalam bentuk Burung Elang.  Tugasnya sebagai  Wadian akan diteruskan oleh keturunan berikutnya.

Saat menarikan peran itu, gerakan penari terlihat ringan dan lamban. Baru setelah lima penari perempuan lainnya masuk, gerakan tariannya berubah lebih cepat dan dinamis.

Tarian Wadian Dadas yang dibawakan 6 penari perempuan Dayak berdurasi sekitar 30 menit tersebut jadi suguhan awal acara peluncuran Festival Budaya Isen Mulang (FBIM) 2018 di Balairung Soesilo Soedarman, gedung Sapta Pesona, kantor Kementerian Pariwisata (Kemenpar) Jakarta, Kamis (19/4).

Semua penarinya mengenakan kostum tari berwarna kuning terang bergaya kemben dengan pernak-pernik dari manik-manik, juga ikat kepala dari rajutan daun kelapa muda dan ditambah hiasan dari beberapa bulu burung.

Mereka diiringi  4 pemusik, antara lain pemain  gendang dan seperangkat gong. Para pemain musiknya  mengenakan baju berwarna merah dan Lawung atau peci khas pria Dayak Kalteng.

Pada awalnya Wadian Dadas berasal dari Barito Timur (perbatasan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur) di pedalaman Pegunungan Meratus, tepatnya di Desa Nansarunai.

Ketika itu di desa tersebut berdiam suku Dayak Ma’nyan. Tetapi karena terdesak oleh suku bangsa lain, mereka kemudian meninggalkan tempat asalnya dan berpindah ke tempat lain, seperti ke Kecamatan Dusun Timur (Kabupaten Barito Selatan) dan daerah Tamiang Layang (Kabupaten Barito Timur).

Wadian Dadas yang semua hidup di zaman masyarakat primitif kemudian berkembang di dalam masyarakat tradisional, karena ada perpindahan komunitas Dayak Ma’nyan ke desa lain.

Karungut
Selain tarian tersebut, juga dihadirkan Karungut berupa nyanyian lagu khas Dayak Kalteng yang dibawakan seniman Dayak serba bisa Wilbertus Wilson (57) yang juga menjabat sebagai Kepala Taman Budaya Kalteng.

Wilson diiringi 4 pemain musik ditambah Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kalteng, Guntur Talajan yang memainkan alat musik kecapi pengiring.

Menurut Wilson, Karungut kalau di Kalteng dibawakan dengan Bahasa Dayak Ngaju yang dipakai oleh sebagian besar orang Dayak yang tinggal di Kahayan, Kapuas, Katingan, Seruyan, dan Mentaya.

“Khusus di acara ini di Jakarta saya pakai Bahasa Indonesia agar tamu undangan memahami. Liriknya spontanitas saja menceritakan tentang potensi wisata budaya dan alam yang ada di Kalteng,” ungkapnya kepada RonaBudaya usai tampil.

Menurut Wilson wisatawan dan penikmati seni budaya bisa menyaksikan kesenian Karungut, Tari Wadian Dadas, dan sejumlah tarian, lagu daerah  serta teater khas Dayak Kalteng saat penyelenggaraan FBIM 2018 yang digelar oleh Pemprov Kalteng dan didukung Kemenpar di Kuala Kapuas, Kabupaten Kapuas, Kalteng pada 2-6 Mei mendatang.

“Kalau di luar FBIM juga bisa, tinggal menghubungi dan mendatangi Taman Budaya Kalteng di Palangkaraya atau langsung ke sanggar-sanggar seni. Di Kalteng sendiri tercatat ada 364 sanggar seni baik tari, musik, teater, sastra, dan lainnya,” ungkapnya.

Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)

Captions:
1.  Enam penari perempuan Dayak Kalteng membawakan Tari Wadian Dadas di peluncuran Festival Budaya Isen Mulang (FBIM) 2018 di Jakarta.
2.   Salah satu penari perempuan Wadian Dadas.
3.   Tari Wadian Dadas menceritakan pengobatan untuk mengusir roh jahat.
4.   Kesenian Karungut khas Dayak Kalteng.
5.   Wilbertus Wilson (57) seniman Dayak sekaligus Kepala Taman Budaya Kalteng (memakai rompi dari kulit kayu) bersama para pemain musik Karungut.


Selasa, 13 Maret 2018

Mengenal Tari Salai Marong dari Tidore


Lima penari perempuan Tidore ini menyita perhatian sejumlah tamu acara launching Calendar of Events (CoE) Maluku Utara 2018 yang berlangsung di Balairung Soesilo Soedarman, Gedung Sapta Pesona, kantor Kementerian Pariwisata (Kemenpar), Jakarta, Selasa (13/3) malam.

Kelima penari yang masih pelajar SMA dan mahasiswi itu membawakan tarian Salai Marong, sebuah tarian tradisonal dari Tidore, Provinsi Maluku Utara (Malut).


Mereka mengenakan baju tari tradisional Tidore yang berwarna cerah, merah muda dan bawahan merah tua serta selendang warna kuning dan hiasan kepala. Masing-masing membawa dua kipas hias dan berbulu berwarna merah.
Menurut Iffah, salah satu penari yang berwajah cantik dan memang asli Tidore, gerakan Tari Salai Marong enerjik dengan iringan musik yang ceria.
“Durasinya cuma menit, tapi aslinya bisa lebih dari 6 menit,” ujar Iffah yang kini tengah kuliah pascasarjana jurusan psikologi di salah satu universitas swasta ternama.

Pelatih Tari Salai Marong Ruaeda Abubakar menjelaskan Marong dalam Bahasa Tidore berarti gotong royong atau kebersamaan.

Salai Marong, lanjutnya berkembang dalam tradisi budaya masyarakat pegunungan di Tidore untuk mengespresikan rasa kebersamaan atau gotong royong dalam mengelola tanah pertanian sejak persiapan sampai panen.



Selain itu, dalam tradisi masyarakat Tidore sampai saat ini, syair-syair Salai Marong masih tetap dinyanyikan pada saat pembukaan atau pembersihan lahan pertanian yang dikerjakan secara bersama.
Menurut Ruaeda, Tari Salai Marong adalah sebuah bentuk ekspresi budaya yang diangkat dalam  bentuk gerak.



“Tarian ini dilakukan oleh penari dalam jumlah ganjil mulai dari 5, 7, 9, dan seterusnya” ungkapnya kepada Ronabudaya.
Angka-angka tersebut, lanjutnya menunjukkan bahwa Salai Marong selalu ada yang diangkat sebagai pemimpin dalam melakukan aksi kebersamaan atau gotong royong.



“Karena Salai Marong tumbuh dalam masyarakat pertanian, maka substansi dari tarian ini adalah gotong royong atau kebersamaan yang merupakan prinsip  dasar dalam sistim komunal masyarakat agraris di Tidore,” ungkapnya.

Selain Tari Salai Marong, acara launching CoE Malut 2018 yang dihadiri Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya, Plt. Gubernur Malut H. Muhammad Natsir Thaib, Sultan Ternate H. Sjafruddin Sjah, Kepala Dinas Pariwisata Malut Samsuddin A. Kadir, para bupati  di Malut, dan sejumlah tamu undangan serta wartawan dan blogger ini juga ada suguhan musik pop tradisional berbahasa Malut.

Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratopis@yahoo.com, ig: @adjitropis)

Captions:
1. Lima penari Salai Marong yang selalu berjumlah ganjil.
2. Tari Salai Marong tampil di acara Calendar of Event (CoE) Maluku Utara (Malut) 2018 di Jakarta.
3. Launching CoE Malut 2018.

Selasa, 06 Maret 2018

10 Komunitas Seni Ini Tak Sekadar Mewarnai Ruang Kreatif: Seni Pertunjukan Indonesia




Dua karya seni berjudul 'Rubah Lost in Puppets' produksi Rubah dari Selatan dan 'Sosak'-nya Malaydansstudio sudah tampil merealisasikan proposal dan konsep pertunjukannya dalam program Ruang Kreatif: Seni Pertunjukan Indonesia di Galeri Indonesia Kaya (GIK), Jakarta.
Suguhan keduanya berhasil memikat perhatian para penikmat dan pemerhati seni, termasuk sejumlah jurnalis dan blogger yang meliput.
Rubah dari Selatan yang digawangi Ronie Udara (perkusi), Malinda (vokal), Gilang (gitar, vokal), dan Adan (kibor) menjadi kelompok seni pertama yang berhasil menjawab tantangan itu lewat sebuah pertunjukan hasil kerjasama Bakti Budaya Djarum Foundation dan Tim Garin Nugroho di Galeri Indonesia Kaya (GIK), Jakarta, Sabtu (3/3/2018) lalu.
Pertunjukannya menggabungkan musik kontemporer dan wayang. Mereka memvisualkan enam karya lewat wayang dengan dalang Ki Hariyanto dan Ki Wahono.

Penyuguh kedua bertajuk Sosak yang ditarikan Riyo Tulus Pernando sekaligus sebagai koreografernya, bersama Damri Aprizal, Panji Primayana, Agil Pramudya, dan Tedjo Riza berhasil menghadirkan pesan dari akibat kebakaran dan bencana asap di Riau lewat olah tubuh yang kaya dan ekspresif.
Menariknya, meskipun Sosak (Sesak) yang ditampilkan Minggu (4/3/2018) petang di GIK begitu kekinian, namun mereka tak melupakan muatan lokal dari daerah yang diangkat lewat ragam budaya Melayu, mulai dari Tarian Zapin, lagu, dan aransemen samapi pakaian pria Melayu terutama di sesi awal.








Berikutnya masih ada delapan komunitas seni lagi yang bakal unjuk gigi.


Kedelapan judul seni pertunjukan itu adalah 'Gen' produksi Bumi Bajra yang akan tampil Sabtu (10/3), 'Baromban dan Mitos Tambang' (Indonesia Performance Syndicate) pada Minggu (11/3), 'Pasir Purnama' (Saskirana Dance Lab) pada Sabtu (17/3), 'Dewi Legenda Jawa Barat' (JP Art) pada Minggu (18/3), dan 'Bala’' produksi Ali Dance Company pada Sabtu (24/3).
Gen menceritakan pewarisan terkecil di setiap benih kehidupan. Benih-benih itu disimbolkan dengan 'telur', perlambang penciptaan di Bali.


Baromba dan Mitos Tambang merupakan karya Wendy HS yang terinspirasi dari puisi karya Iyut Fitra mengenai kehidupan masyarakat di sekitaran tambang pasir di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.
Pasir Purnama mengisahkan keseimbangan alam yang tak lepas dari peran manusia dan aktivitasnya.

Berbagai ritual tradisi yang tercipta turut serta mengatur pola itu. Purnama menjadi sebuah ruang interaksi dan pertemuan tradisi sebagai pengingat juga pelestari.
Dewi Legenda Jawa Barat menceritakan tentang elemen-elemen alam yang terdiri atas air, api, Tanah, dan udara yang kini bersatu dengan segitiga berenergi dan berkekuatan dinamis untuk membentuk suatu energi kehidupan yang kuat dan positif.
Sedangkan Bala’ mengangkat budaya masyarakat Bangka yang sangat erat dengan norma-norma kehidupan dan adat istiadat, bukan sebagai kegiatan rutinitas ataupun hiburan masyarakat semata melainkan memaknai lebih dalam norma tersebut kemudian merenungkan kembali agar semuanya tetap tepat pada fungsi dan keberadaannya.
Penampil selanjutnya karya Flying Ballons Puppet berjudul 'Natuh' pada Minggu (25/3), lalu 'King' (Maha Dance) dari Papua pada Sabtu (31/3), dan terakhir seni pertunjukan bertajuk 'Moro a Fashion Story' produksi Kalanari Theatre Movement pada Minggu (1/4).


Natuh adalah pertunjukan teater boneka yang terdiri atas gabungan boneka tiga dimensi yang dimainkan dua pemain boneka serta permainan bayangan.

King menderitakan tentang Burung Cendrawasi sebagai simbol Tanah Papua yang mengalami eksplotasi hingga mempengaruhi eksistensinya di masa depan.

Sementara Moro a Fashion Story  berkisah tentang sebuah perjalanan singkat ke Pulau Morotai yang mencatat sebuah filosofi menawan, morodina, morodaku, dan morodaki yang secara ringkas menceritakan bahwa leluhur Suku Moro hidup serta berasal dari laut, langit, hutan, dan permukaan Tanah.






Mereka semua akan ditampilkan di venue yang sama di GIK, Grand Indonesia West Mall, Lt.8 (samping CGV), Jl. MH Thamrin No, 1, Jakarta mulai pukul 3 sore.

Jadi totalnya ada 10 komunitas seni yang beruntung bisa tampil dalam Ruang Kreatif: Seni Pertunjukan Indonesia.

Kesepuluh kelompok tersebut terpilih dari 25 komunitas seni pertunjukan beragam genre yang mengikuti workshop selama 3 hari di GIK pada bulan November tahun lalu.

Kemudian mereka diberikan banyak materi mengeni seni pertunjukan di Indonesia, mulai dari manajemen produksi sampai dengan manajeman panggung atau seni peran.

Di akhir program, perwakilan dari para kelompok mempresentasikan karya mereka di depan para panelis yang terdiri atas Bakti Budaya Djarum Foundation, Garin Nugroho, dan Nano Riantiarno hingga akhirnya terpilih 10 kelompok seni yang akan tampil di GIK sejak 3 Maret sampai dengan 1 April mendatang.




Sineas dan budayawan Garin Nugroho mengatakan saat ini banyak komunitas seni yang terus produktif berkarya sekaligus memiliki kemampuan membangun dan meregenerasi anggota komunitasnya.

“Melalui Ruang Kreatif ini, kami berharap seniman muda Indonesia mampu bersaing dengan seniman di dalam maupun di luar negeri,” ungkap Garin.
Sementara Renitisari Adrian selaku Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation menambahkan kalau Ruang Kratif sudah berjalan di GIK yang merupakan tempat edutainment budaya selama dua tahun.
“Ruang Kreatif ini merupakan wujud peduli GIK untuk terus mendukung komunitas seni sekaligus menumbuhkan bakat-bakat baru kreator seni dan memungkinkan adanya regenerasi muda dalam seni pertunjukan Indonesia,” ungkap Renitasari.

Dua karya seni kontemporer 'Rubah Lost in Puppets' garapan Rubah dari Selatan dan 'Sosak' produksi Malaydansstudio sudah membuktikan bahwa mereka tampil bukan semata mewarnai Ruang Kreatif GIK, melainkan juga menawarkan konsep apik dan pesan yang tersirat.

Sepertinya 8 kelompok seni kontemporer lainnya yang siap beraksi akan menyuguhkan sesuatu/konsep yang berbeda dan istimewa.

Seperti apa letak perbedaan konsep dan perbedaannya? Tak ada cara lain selain menyaksikan langsung di GIK Jakarta.



Naskah: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)
Foto: adji & @indonesiaperformancesyndicate_

Captions:


1. Para penari 'Sosak' dari Malaydanssudio usai tampil dalam Ruang Kreatif: Seni Pertunjukan Indonesia di GIK, Jakarta.
2. Lima penari Sosak saat beraksi di GIK.
3. Baromban dan Mitos Tambang: mentoring kedua sebelum pementasan 11 Maret 2018 di GIK.
4. Indonesia Performance Syndicate (IPS) adalah komunitas seni dari Padang Panjang, Sumatera Barat yang menekankan Total Body Performance dalam setiap karyanya.
5. Sejumlah penikmat seni, wartawan, dan blogger berfoto bersama 5 penari 'Sosak', usai mereka tampil menghentak habis-habisan.
6. Salah satu penari Sosak yang ekspresif.

Sabtu, 13 Mei 2017

Zapin Bergelut, Bikin Candi Muaro Jambi Lebih Berdenyut


Enam penari yang merupakan mahasiswa-mahasisiwi program studi (prodi) tari dari Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang, Sumatera Barat (Sumbar) ini, ber-pose di depan pelataran sebuah candi di kompleks Percandian Muaro Jambi, Kecamatan Muaro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, usai tampil ekspresif dan kompak di atas panggung dalam acara pembukaan Festival Candi Muaro Jambi 2017.

Keenam muda-mudi yang tergabung dalam komunitas Puka Art 14 di ISI Padang Panjang ini bernama Zulfadanti, Dara Harlani, Erviasita, Iwan Saputra, Mugi Ari Saputra, dan Reza Ardian.
Kehadiran mereka di candi itu, memberi warna tersendiri sehingga candi yang tengah diperjuangkan agar ditetapkan sebagai warisan sejarah dunia oleh Unesco itu terasa lebih berwarna dan berdenyut.

Menurut Zulfadanti yang akrab disapa Zulfa nama komunitas mereka Puka Art 14 yang dibentuk tahun 2014, diambil dari nama alat musik tiup tradisional masyarakat  Painan, Sumbar bernama Puka yang terbuat dari batang pisang.

Mereka baru saja mempersembahkan tarian melayu kreasi bertajuk Zapin Berdenyut, berdurasi 6 menit, yang disaksikan Gubernur Jambi Zumi Zola beserta istri, Plt. Bupati Muaro Jambi Kailani, dan perwakilan dari Kementerian Pariwisata yang mendukung even ini, Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Nusantara, Esthy Reko Astuti serta sejumlah tamu undangan dan tentunya para biksu dari dalam dan luar negeri.

Iwan Saputra menjelaskan tarian Zapin Bergelut ini diciptakan temannya sendiri Mugi Ari Saputra yang menceritakan pergaulan muda-mudi sekarang.
“Dalam tarian itu diceritakan ada seorang pria menyukai perempuan. Sang pria mengajak perempuan itu bermain-main sehingga tumbuh rasa cinta,” terang Iwan yang berasal dari Aceh.
Zulfa menambahkan, tarian ini pakemnya berasal dari Tari Zapin Melayu namun sudah dimodifikasi atau dikreasi. “Basic tariannya tetap sama ada lenggang, tandak, igal, dan liuk-nya yang menjadi dasar-dasar tarian Melayu,” jelas Zulfa yang berasal dari Kota Jambi.

Tarian ini, lanjut Iwan bisa ditarikan mulai dari 4 penari secara berpasangan sampai kolosal.

Para penari perempuannya, sambung Zulfa mengenakan pakaian atau baju kurung yang agak longgar, ditambah aksesoris bunga teratai untuk hiasan rambut. Sedangkan penari pria-nya memakai songket, sarung, dan ikat kepala yang terispirasi dari lancak atau ikat kepala khas masyarakat Jambi.

Menurut pengakuan Iwan, Tari Zapin Bergelut ini baru saja diciptakan rekannya. “Kami baru berlatih sebulan untuk tampil di even ini,” akunya seraya menambahkan setiap ada even, komunitasnya selalu membuat tari kreasi baru.

Secara gerak, sambung Iwan tidak ada kesulitan karena pada dasarnya mereka adalah penari. “Tapi yang agak sulit meredam ego masing-masing agar tidak tampil dominan,” aku Iwan.

Berdasarkan pantauan Rona Budaya, meskipun baru sebulan latihan, penampilan ke-enam muda-mudi ini sangat kompak dan enerjik, seperti sudah terbiasa menarikan tarian tersebut. Padahal gerakannya sangat variatif.

Zulfa menjelaskan kenapa komunitasnya bisa terpilih tampil mengisi acara pembukaan Festival Candi Muaro Jambi 2017, berkat salah satu temannya ada yang bekerja di Dinas Pariwisata Kabupaten Muaro Jambi.

“Kebetulan beberapa dari komunitas kami ada yang berasal dari Jambi dan bernah bergabung di sanggar tari di Jambi. Nah, ketua sanggarnya dekat dengan orang Dinas Pariwisata sini lalu komunitas kami direkomendasikan untuk tampil,” terangnya.

Oleh karena itu, peluang baik ini, lanjut Zulfa dipergunakan sebaik mungkin oleh Puka Art 14. “Kesempatan ini kami gunakan untuk memperluas jaringan, sekaligus ikut berpartisipasi meramaikan Festival Candi Muaro Jambi tahun ini. Kebetulan  tuan rumahnya sangat well come terhadap kami  untuk turut berpartisipasi dengan menyediakan fasilitas penginapan, makan, dan transportasi Pergi-Pulang dengan bus,” terang Zulfa.

Kata Zulfa, para penari Puka Art 14 menguasai berbagai tarian tradisional baik itu tarian tradisional khas Minang maupun Melayu antara lain Tari Piring, Randai, Zapin, Serampang Duabelas, dan Tari Persembahan atau Tari Makan Sirih. Selain itu juga beberapa tarian kreasi dan modern kontemporer.

“Kalau kami ditanggap per paket sekitar 15 juta untuk wilayah Sumatera, diluar akomodasi, makan dan tranportasi Pergi-Pulang. Kalau untuk di luar Sumatera tarifnya lebih dari itu. Tapi tergantung even dan jumlah penarinya,” terang Iwan yang menghimbau Pemerintah Kota Padang Panjang terus memperbanyak even wisata dan budaya yang melibatkan para penari agar komunitas penari bisa terus bergiat.

Baik Iwan maupun Zulfa mengaku profesi penari sangat menjajikan dan sangat bisa dijadikan sebagai profesi.
“Sekarang ini saja kami sudah sering tampil mengisi even. Lumayan bayarannya, jadi hobi yang dibayar,” terang Zulfa yang memang bercita-cita menjadi penari profesional atau paling tidak bekerja sebagai PNS di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.

Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)
Captions:
1. Enam penari Puka Art 14 dari ISI Padang Panjang ber-pose di salah satu candi di kompleks Percandian Muaro Jambi.
2. Puka Art 14  tampil menarikan Tari Zapin Bergelut di acara pembukaan Festival Candi Muaro Jambi 2017.
3. Selalu tampil kompak.
4. Bangga berprofesi sebagai penari.
5. Selalu ceria dan ekspresif.
6. Iwan dan Zulfa anggota Puka Art 14.